Kita masih teman?

1 0 0
                                    

Gedung BSK,

Meski tidak baik-baik saja, tapi satu-satunya yang ia miliki saat ini adalah pekerjaannya yang sudah ia geluti bertahun-tahun. Mungkin ia sudah di level tidak suka bahkan membenci pekerjaannya tersebut, tapi justru saat ini gedung BSK menjadi satu-satunya tempat penghiburan yang masih bisa ia datangi. Iqala belum gila, setidaknya hari ini ia masih bisa berpikir untuk beraktifitas normal dan menyelesaikan tugasnya dengan baik.

Setelah kemarin ia melepaskan usaha kedainya, sore ini Kavi menghubunginya untuk memberitahu hal yang tak pernah terlintas sedikitpun dalam pikirannya. Yang tadinya bersiap untuk pulang, jadi tertahan karena pesan tersebut.

“Qal, peralatan dan sisa logistik kedai kita aku beli ya, maksudnya aku beli kerugian yang mau kita jual ke orang lain. Soalnya pamanku mau mengelola, jadi aku serahkan ke mereka gapapa ya.” Begitu pesan yang terbaca oleh Iqala.

Gadis itu sudah tidak tahu lagi bagaimana berpikir jernih, saat ini ia sedang dalam mode senggol-bacok saking ruwetnya yang terjadi.

Iqala tidak ingin berdebat sebenarnya, tapi ia perlu tahu. “Maksudnya? Aku gak paham” Balas Iqala.

“Iya jadi kan kamu udah nyerah, kita udah gak punya karyawan juga, dan mau jual aset yang tersisa. Nah aku aja yang beli, kebetulan paman aku bersedia mengelola. Jadi usaha kedainya tetep beroperasi tapi aset kamu aku beli tapi sesuai nilai yang kita bisa jual ke orang lain. Aku gak bisa ngembaliin senilai ganti rugi, Karena memang kita ga profit sama sekali.”

“Berapa?” Iqala menjawab singkat.

“Kalau dihitung, total aset yang tersisa senilai 3 juta kalau dijual bekas. Jadi aku bayar segitu paling.”

Ingin marah! Itu yang Iqala rasakan saat ia membaca pesan dari Kavi. Entahlah, ia merasa dikhianati.

Bagaimana kalau sedari awal Kavi memang menunggu momen ini, bagaimana kalau temannya itu memang sengaja membiarkan keadaan terpuruk seperti ini agar bisa mengambil alih semuanya. Pikiran-pikiran buruk berkecamuk dalam benak Iqala.

Ia tersenyum getir. Ternyata benar, bisnis bisa membuat persahabatan hancur. Kemarin Elo, sekarang Kavi.

Iqala tahu, ia memang kehilangan uangnya, investasinya, juga kehilangan waktu dan tenaganya untuk hal yang sia-sia. Tapi jauh dalam lubuk hati terdalam, Iqala kecewa dan terpukul, ia kehilangan teman-teman yang ia anggap baik selama ini. Entah ia bisa percaya pada siapa sekarang.

Bersamaan dengan itu, Eca yang hendak pulang dan melihat Iqala dengan pandangan kosong, langsung saja menghampiri sahabatnya.

“Gua bego banget ya Ca!” Iqala merutuki kebodohannya kepada Eca.

Eca yang merasa ada yang salah dengan sahabatnya itu merangkulnya perlahan, “It’s Okay, kita emang sering mengambil langkah yang keliru dalam hidup Qal.” Niatnya memberi penghiburan.

Iqala melepaskan rangkukan Eca, “Jadi maksud lu, gua salah gitu dari awal?! Iya gua salah! Harusnya gua lebih pinter! Lebih pake otak! Harusnya gua gak gegabah! Harusnya gua gak usah sok-sok an bikin usaha! Harusnya gua gak gampang percaya! Harusnya gua… huaaaa.” Gadis itu meluapkan emosinya sambil menangis.

Jay yang tidak sengaja belum pulang juga dan melihat dua rekannya terlibat masalah emosional, jadi menghampiri.

“Kenapa ini?” Tanya Jay, melihat Iqala yang tengah sesenggukan sambil menutup wajahnya dan Eca yang terlihat sama bingungnya dengannya.

Eca mengangkat bahu, tanda tidak tahu.

Jay menghela napas, ia ikutan sedih melihat temannya itu.

Tak ada yang bisa Eca dan Jay lakukan, saat ini mereka hanya menunggu Iqala meredakan emosinya.

Setelah lebih tenang, Iqala mengusap wajahnya yang sembab. Ia baru menyadari ke dua temannya itu masih di sana. Namun meskipun begitu, ia tidak ingin bercerita atau ditemani siapapun saat ini.

“Kalian pulang aja!” Perintah Iqala kepada Jay dan Eca.

“Enggak Qal, kita mau di sini aja nemenin lu.” Eca menolak, dan Jay pun mengangguk setuju.

“Pulang!!” Kali ini Iqala memaksa dengan penuh penekanan.

“Tapi..” Eca masih bersikeras.

“Gua bilang, pulang Ca! jangan urusin gua!!” Iqala setengah berteriak.

Eca syok dibentak seperti itu oleh Iqala untuk pertama kalinya. Jay pun tidak menduga Iqala akan bereaksi seperti itu.

Hingga akhirnya Jay yang masih berpikir jernih menarik tangan Eca, membawanya keluar. “Iqala butuh waktu, entah apa yang sedang ia alami, kita awasin aja dari jauh ya.” Ucapnya memberi pengertian pada Eca, saat sudah tidak didekat Iqala.

Eca mengalah, ia sedih melihat sahabatnya seperti itu. Namun benar seperti apa kata Jay, mungkin Iqala memang butuh waktu untuk menenangkan diri, apapun itu yang tengah ia alami.

Di sisi lain, selepas kepergian Eca dan Jay, Iqala jadi mempertanyakan ketulusan teman-temannya itu. Ia yang menyuruh mereka pergi, tapi ia juga yang merasa ditinggalkan. Kenapa semua orang seperti mengkhianatinya? Dosa apa yang sebenarnya telah ia lakukan? Iqala terus berperang dengan isi kepalanya sendiri.

IQALAWhere stories live. Discover now