Tanggal 30

24 5 0
                                    


“Qala.. tolong buat salinan dokumen ini ya, setelah itu yang aslinya tolong dikirim ke ibu Siti warehouse”  itu suara bu Ane, beliau adalah atasan langsungnya Iqala.

“Oke bu.” Iqala mengambil dokumen yang akan di fotocopi dari tangan bu Ane.

“Buat satu rangkap saja ya, bulak-balika saja fotocopinya” Bu Ane menambahkan.

Iqala mengangguk dan segera menuju mesin fotocopy yang ruangannya di sebrang ruang dokumen. Bedanya, ruang fotocopy bisa diakses siapapun. Pagi ini berati ia sudah dua kali bulak-balik ke ujung lorong tersebut.

Ruangan fotocopyan tampak lengang, biasanya mesin ini sudah sangat sibuk di pagi hari. ‘Aneh’ pikirnya.

Iqala mulai memasukkan lembar demi lembar dokumen ke dalam mesin tersebut.

“Qal, banyak ga?” tiba-tiba saja Eca sudah berdiri di belakngnya, membuat Iqala sedikit tersentak.

“Hadeuh ca, ngagetin aja,”

“Iya maaf-maaf,  banyak ga? Kalau banyak, aku nyele dong,” Pinta Eca setengah memohon dengan meleluarkan puppy eyes andalannya.

Iqala melirik dokumen yang dibawa Eca, itu lebih sedikit dari yang dibawanya.

“Oke boleh,” putusnya

“Yeayy makasih Qal.” Eca kegirangan. Tanpa berlama-lama ia kemudian mengambil alih mesin fotocopy.

Iqala hanya geleng-geleng melihat kelakuan rekannya tersebut.

Iqala menunggu dengan sabar, keheningan menyelimuti mereka.

Eca memerhatikan Iqala, entah perasaannya saja atau memang hari ini gadis berjilbab hitam di sampingnya itu lebih banyak diam. Bahkan mengawali kerja se-pagi mungkin untuk mengarsip, seakan sedang menghindar.

“Kamu gapapa kan Qal?” Eca membuka pembicaraan.

Yang ditanya tidak merespon.

“Qal!” Kali ini dengan nada lebih keras.

“Eh? Ada apa? kenapa?” Jawab Iqala gelagapan.

“Wah gak beres nih, pasti ada sesuatu deh” Eca memicingkan matanya.

“Apa sih Ca, sesuatu apa, tadi kamu nanya apa?”

“Tuhkan, bahkan pertanyaan aku aja kamu gak denger. Kamu kenapa Qal? Lagi ada problem?”

Mesin fotocopy berjalan otomatis.

“Im Okay. Gak ada masalah apa-apa kok.” Iqala mengelak, menurutnya memang ia sedang baik-baik saja. Meskipun itu hanya secara fisik.

“Kamu tuh ya, aku perhatiin, belakangan lebih banyak diemnya. Banyak kagetnya, hari ini yang terparah sih, biasanya dateng mepet. Eh tadi malah paling gercep diantara yang lainnya, mana pagi-pagi udah ngarsip sendirian lagi di ruang “keramat.” Jelas Eca panjang kali lebar.

Iqala diam, ia memilih menanggapi dengan hal lain.

“Ca, sampe kapan sih kita harus kerja kaya gini?”

“Maksudnya?”

“Iya, ngarsip, bikin salinan dokumen, ngirim dokumen, kerjaan-kerjaan yang sistemnya auto pilot  bahkan gak perlu berpikir lagi ngerjainnya.”

Eca mulai mengerti kemana pikiran Qala.

“Ya mau gimana lagi Qal, kita kan selalu di doktrin kalau gak suka sama pekerjaan ini, kita bisa resign, toh yang mau di posisi kita juga banyak, tapi ya balik lagi, dapet kerjaan tuh susah. Masih untung, kita dapetnya yang sesuai UMR. Banyak loh diluaran sana yang pendapatannya ga tetap dan cenderung minus.” Jawab Eca.

“Kamu bahagia Ca?” Iqala melihat mata Eca, mencari kejujuran disana. “Maksudku, kamu sungguh tidak apa-apa melakukan pekerjaan ini dalam waktu yang lama?”

Eca tidak menjawab, ia hanya tersenyum,

“Selesai, aku balikin lagi mesin ajaib ini ke kamu.” Ia mengambil kumpulan kertas yang sudah disalin mesin fotocopy.

“Kalau kamu cape, istirahat deh. Kalau burn out, ambil cuti buat explore tempat yang bagus.” Eca berlalu meninggalkan Iqala. Tepat diujung pintu, Eca berbalik,

 “Kalau aku, udah ditahap pasrah sama hidup dan karir. Jadi kalau kamu nanya bahagia atau engga, ya aku harus bahagia, bukan karena kerjaan ini bikin aku bahagia, tapi karena aku milih kerjaan ini, aku harus tanggung jawab sama pilihan sendiri kan.”

Iqala paham, apa yang dikatakan Eca ada benarnya. Dibanding mengeluh, rekannya yang satu itu lebih memilih berdamai. Tidak semua orang bisa seperti Eca, dirinya contohnya. Bukan tidak ikhlas menjalani pekerjaan, namun semakin lama ia menjalani pekerjaan ini, ia merasa semakin terkurung, pikirannya tumpul, otaknya tidak bisa diajak berpikir. Ia mudah lelah dan kehilangan kepercayaan diri, terutama jika teman-teman di luar sana sudah membahas hal-hal yang keren, biasanya ia hanya menyimak, dan makin lama makin menjauh, takut mengganggu obrolan yang seru itu.

Setelah merenung panjang, ia sadar bahwa sekian tahun kebelakang, ia habiskan hanya untuk melakukan pekerjaan yang membunuh kreatifitasnya. Iqala tidak merasa antusias sama sekali. Satu-satunya hal yang membuat ia berbinar adalah tanggal 30 di setiap bulan. Tentu saja, semua orang menyukai gajian. Tapi pertanyaannya, apakah hidup hanya soal gajihan? Apakah kebahagiaannya hanya muncul setiap tanggal 30?

. . .

Gimana gess? kasih komen untuk cerita pertamaku dong 😊😊
Maafkan untuk typo yang bertebaran, diperbaiki soon.

IQALAWhere stories live. Discover now