Panggung Dunia

12 6 0
                                    

Usia Iqala baru 26, jika ada hal yang paling ia inginkan, saat ini ia hanya ingin bertemu dirinya usia 6 tahun. Iqala ingat, saat itu ia begitu penasaran dengan kehidupannya 20 tahun lagi. Rasanya ingin cepat menjadi orang dewasa, yang bisa melakukan banyak hal hebat. Usia 6, jiwa bebasnya terpagari kekhawatiran orang tua, sebentar dilarang, sebentar dibatasi. Ia iri sekali melihat orang dewasa disekitarnya bisa melakukan apapun se-suka hati.

Kenyataan saat ini, 20 tahun yang sangat ia dambakan, tidaklah seperti bayangannya. Atau mungkin masa dewasanya tidak seberuntung orang lain.

Penghasilan pas-pasan, terhalang restu hingga ditinggal menikah, membiayai hidup dan menanggung hutang orang tua, tidak pernah ada dalam kamus perencanaan hidupnya.

Hal bertubi-tubi yang ia terima belakangan ini cukup membuat pikirannya terguncang.

Entah apa dulu yang harus ia selesaikan. ia sangat kesulitan, tapi tidak tahu harus bagaimana mengurainya. Belum lagi terbentur quarter life crisis yang mempertanyakan jati diri dan apa yang sebenarnya ingin ia lakukan dalam menjalani kehidupan ke depan.

Malam itu, kepalanya berisik sekali. Banyak suara-suara yang membuat perasaanya tidak karuan. Iqala mencoba memejamkan mata, lelah. Tapi kegaduhan di otaknya sungguh tidak bisa diajak kompromi.

‘Ayah sampe punya hutang banyak, salah kamu sih gak perhatian jadi anak’

‘harusnya gaji kamu banyak, jadi bisa cukupin kebutuhan’

‘kamu terlalu loyal sama pekerjaan, temen-temn kamu udah jadi orang, kamu masih begitu aja’

‘Harusnya kamu lahir di keluarga darah biru biar gak ditinggal nikah’

‘kamu tuh harus kuat, inget, gak punya siapa-siapa untuk tempat bergantung’

‘Harusnya..’

Stop gumamnya menghentikan bising di kepala. Ia tidak mau mendengar lagi suara-suara itu. Capek banget dengerinnya. Bisa gak sih hidup seperti orang lain? Tenang, damai, banyak uang, gak punya masalah, gak jadi tulang punggung, gak jadi beban, gak ditinggal nikah, kapan bisa jadi pemeran utama seperti orang lain?

Iqala menatap langit-langit kamarnya dengan posisi tiduran, ia berbicara sendiri.

“Bukankah dunia ini seperti panggung hiburan? Kenapa tidak pernah aku, yang jadi pemeran utamanya?’ Iqala mengeluhkan dalam hati, ‘kenapa aku juga harus membereskan kekacauan yang dibuat orang lain? Kenapa harus aku yang bayar hutang ayah? Gak adil!” air matanya menetes.

“Sekarang harus bagaimana? cari kerja yang gajinya lebih besar?” Iqala mengide, “Tapi aku gak punya keahlian lain,” Ratapnya.

“Atau kalau dapet gaji yang lebih besar, bagaimana jika kerjanya tidak awet? Bagaimana kalau tidak diperpanjang? Nanti untuk lunasin hutang dan biaya hidup, dari mana uangnya?” Ia masih berbicara sendiri.

“Atau coba bisnis kali ya? Kayaknya bisa deh uang tabungan yang recehan itu diputerin dulu,” Tiba-tiba ia mendapat pencerahan, “Bisa nih jualan.”

“Tapi sama siapa? Kalau gagal gimana?” Keluhnya lagi.

“Gak tahu ahhh, pusing! Mau menghilang aja dari bumi.”

Iqala membenamkan wajahnya ke bantal, mencoba menutup mata memaksakan diri untuk tidur. Kegaduhan di kepalanya, biarlah dilanjut esok lagi. Barangkali esok  saat terbangun, ia sungguhan jadi pemeran utama, harapannya sebelum kesadaran hilang.

IQALAWhere stories live. Discover now