Sect. III: 三

86 18 6
                                    

Gempa membentuk sebuah formasi lewat kerikil yang sudah ia kumpulkan, beberapa ranting kecil pun turut hadir dalam formasi itu. Sementara yang lainnya menyimak Gempa yang sibuk menyusun rencana untuk mereka berlima.

"Baiklah, kita mulai turun dari atap ini. Kemudian kita harus melipir ke bagian gudang yang ada di depan pintu ini persis, dapatkan setidaknya masing-masing sapu atau pel sebagai alat pertahanan diri, kalau ada yang lain maka itu bonus. Ketika sudah dapat, kita langsung pergi, tapi sebelum itu salah satu dari kita harus membuktikan benar atau tidaknya teori Blaze."

Mereka tercenung. "Jadi itu artinya, salah satu dari kita harus berkorban?"

Gempa menelan ludah. "Ya."

Keheningan melanda.

Sebelum akhirnya Halilintar mengajukan diri untuk pergi. "Biar aku saja."

"Tapi Haliー?!" Protesan Taufan di potong oleh Halilintar yang sudah menatapnya tajam.

"Ada dua kemungkinan, jika makhluk itu benar-benar tidak bisa melihat dalam gelap, maka aku akan mengangkat tangan kananku sebagai tanda supaya kalian pergi terlebih dahulu. Tapi jika makhluk itu bisa melihat dalam gelap, maka aku akan mengalihkan perhatian mereka sementara kalian berempat pergi lewat tangga darurat yang ada di lantai lima. Kalian mengerti?" Halilintar mengungkapkan rencananya seraya sibuk mengutak-atik posisi kerikil.

"Tapi, bagaimana denganmu?" Gempa khawatir begitupun dengan Taufan.

"Jangan khawatir, aku ini Halilintar. Makhluk seperti itu tak bisa membunuhku begitu saja. Aku akan menyusul jika sempat. Tapi jika tidakー"

Halilintar menjeda ucapannya.

"Tinggalkan saja aku."

Taufan dengan marah berseru. "Omong kosong! Kita gak akan tinggalin kamu begitu aja!"

"Fanーtolong mengertilah..."

"Justru kamu yang harus mengerti, Hali! Ini perkara nyawa. Kamu itu temanku, sahabatku! Kita disini susah senang bersama. Walaupun kondisinya seperti ini, tapi kamu gak bisa dong seenaknya mengorbankan nyawamu sendiri? Ini perkara besar dan berbahaya!" Taufan menatap kesal Halilintar yang berada di depannya.

"Hentikan. Tidak ada gunanya berdebat." Gempa menengahi karena merasa tidak enak juga terhadap Blaze dan Ice yang harus menyaksikan pertengkaran mereka.

Taufan berjalan menjauh dari Halilintar. Ia benci ketika sahabatnya itu menjadi sok kuat dengan mengorbankan dirinya sendiri.

Halilintar menghela nafas. Ia tahu dirinya salah. Tapi mau bagaimana lagi? Tidak ada cara lain.

"Biarkan saja, dia butuh udara segar." Halilintar mengacuhkan tindakan Taufan dan kembali fokus pada misi utamanya.

Blaze dan Ice pun hanya saling pandang ketika ketiga orang yang lebih tua itu berdebat. Mau menyela tetapi juga tidak bisa.

Selesai dengan rencana, mereka memutuskan untuk menunggu matahari tenggelam untuk menjalankan misi mereka. Ada Ice yang tertidur di paha Blaze, Gempa dan Halilintar yang sibuk memantau kondisi dari atas. Serta Taufan yang sedang duduk di tempat basecamp Iceーyang mana itu tempat toren air.

"Kurasa kau perlu berbicara dengan Taufan, Hali." Gempa membuka percakapan, tangannya bersender pada pembatas atap sekolah.

Halilintar berdecih pelan. "Aku harus bicara apa? Saat ini emosinya sedang tidak stabil. Lagipula, kita harus tetap pada rencana kita."

"Taufan marah karena kau gak tanggung-tanggung mau mengorbankan nyawamu sendiri. Kau tahu kan dia benci hal-hal yang menyangkut nyawa seperti itu. Aku yakin makhluk itu tak bisa melihat dalam gelap jadi kau akan pergi bersama kami, yahーsetidaknya."

AdamantWhere stories live. Discover now