Bab 10 : Mengasuh Milo

94 11 2
                                    

Sudah dua hari, sejak Joan datang ke rumah ini. Ia tampak gugup dan canggung apalhi berhadapan dengan bossnya setiap hari.

Kamar milik Joan dan Daniel tentu saja terpisah, Joan memiliki kamar sendiri yaitu kamar tamu yang disulap khusus menjadi kamar pribadinya. Kardus milik Joan bertumpuk meninggi, ia mulai merapikan barang-barang yang akan di masukan ke dalam lemari yang ada secara khusus di wardrobe bilik kamar nya.

Ketika ia sedang membereskan kamarnya, terlihat sesekali Milo mengintip dari balik pintu dengan tatapan yang sinis. Ia seakan cctv yang mengamati setiap gerak-gerik Joan dengan curiga. Joan mulai merasa tidak nyaman yang akhirnya memanggil Milo untuk masuk ke dalam.

Dengan senyum, Joan mencoba ramah kepada anak itu. "Milo, masuklah tidak apa-apa."

Tidak seperti biasanya anak itu yang selalu tantrum, kali ini Milo tampak patuh. Ia masuk kedalam dan mengamati tumpukan kardus dan baju yang diangkat ke sebuah bilik wardrobe dekat dengan kamar mandi. Kamar ini terbilang sangat luas jika hanya ditempatu satu orang saja. Joan tersenyum, kemudian menyuruh Milo duduk. Milo tampak tak acuh, ia lebih suka mengamati salah satu kardus, kemudian membukanya dengan kasar. Namun tiba-tiba anak itu kembali tantrum...

Seakan senang, Milo mengacaukan isi dari kardus, menendangnya dan hampir menginjak-injak tumpukan baju yang keluar dari kardus. Joan terkejut, ia lalu mencoba merangkul tubuh anak itu untuk menghentikan kegiatannya.

"Hei, Milo... Milo hentikan!" Teriak Joan, namun Milo tidak peduli. Ia Terus-terusan memukul dan menjambak rambut Joan.

"Kau tidak akan pernah menggantikan mama! Aku benci!" ucap Milo dengan nyaring, hingga ia tidak sengaja melayangkan tangannya lalu memukul bibir Joan dengan keras yang mengakibatkan sudut bibirnya berdarah.

Milo semakin marah. Anak berumur sepuluh tahun itu bangkit dan menenendang segalanya hingga mengacaukan apa yang telah Joan tata dengan sedemikian rupa.

Joan menyeka darah di sudut bibirnya, lalu dengan cepat mendorong anak itu dengan paksa keluar kamarnya. Ia lalu mengunci pintu dengan rapat-rapat. Tubuh Joan melemas dan jatuh ke bawah. Samar-samar terdengar isakan dari dalam kamar itu.

Milo, anak berumur sepuluh tahun yang terdiagnosa ADHD itu tampak sedikit menyesal. Ia takut jika Joan mengadu lalu sang ayah tahu. Anak itu lalu berlari dan bersembunyi di dalam kamarnya.

***

Jam makan malam tiba, Daniel baru saja pulang dari kantor lebih awal. Ia masuk ke dalam rumah mewahnya yang bergaya klasik itu dengan lelah. Seepetinya tidak ada yang berubah. Di dalam rumah mewah itu tampak sedikit kumuh karena Milo selalu membuang sampah sembarangan dan mainan yang tersebar berantakan. Sudah berkali-kali pada maid untuk membersihkan kekacauan Milo, tapi jika semakin dibersihkan anak itu akan semakin senang untuk mengacaukannya kembali. Tidak ada henti-hentinya.

Sesaat setelah mendengar bunyi mobil, Joan berinisiatif untuk turun dari lantai dua dengan segera. Ia memakai sweater dan celana panjang kotak-kotak, tidak lupa dengan kacamatanya. Tampak tidak matching, tapi Joan suka karena nyaman.

Joan meraih tas jinjing yang dibawa Daniel lalu membawanya, "sa-saya tadi sempat memasak bersama Bibi Su, jika Tuan Silas berkenan bisa mencicipi hidangan yang telah saya buat, " ucap Joan dengan gugup.

Daniel tersenyum, kemudian menepuk pundak Joan, "baiklah terimakasih Mr. Lee, " ucapnya.

Suasana meja makan tampak senyap dan hening, hanya ada suara garpu sendok beradu dan tentunya sesekali suara dari ponsel milik Milo. Milo seperti biasa tidak makan dengan benar, tapi menumpahkan sebagian nasi goreng di atas meja hingga kotor. Anak itu tidak bisa tenang, ia sangat tertarik dengan game online di ponselnya. Kakinya terangkat dua-duanya di kursi, mulutnya penuh karena ia mengemut sendok dengan lama. Daniel tampak lelah dengan tingkah Milo, ia sedikit kurang peduli dengan putranya.

"Mr. Lee ada apa dengan sudut bibirmu?" ucap Daniel yang melihat luka kecil di ujung bibir Joan.

Joan terkejut, lalu menutupi luka itu. Mata Milo berkilat tajam, ia mulai takut jika Joan berkata jujur dengan sang ayah.

"Tidak apa-apa Tuan Silas, ini hanya luka kecil. Saya tidak sengaja tergores ketika saya sedang membersihkan kamar," ucapnya.

Milo tertegun sejenak mendengar perkataan Joan. Mulai timbul perasaan resah dan rasa bersalah di hatinya. Dahi Milo berkerut, kemudian hendak menangis. Tiba-tiba
Suara game online memecah keheningan, ketika berbunyi "win" Milo kembali tampak senang, lalu menghamburkan nasi goreng di depannya. Ia sudah tidak berselera makan dan memilih pergi dari sana.

Daniel menghela napasnya, " Mr. Lee maafkan Milo, ya... Ah, maksudku dia ada sedikit gangguan fokus, " ucapnya.

Joan mengerti dan mengangguk, ia kemudian mengangkat suara nya, "eum... Bagaimana dengan masakannya? Apakah sesuai selera anda Tuan Silas?" ucap Joan sambil menatap Daniel dengan harap.

Tiba-tiba jantung Daniel berdegup kencang, ketika melihat Joan yang sedang berbicara tampak polos dan sedikit ragu-ragu. Apalagi pertanyaaan dan gesturnya sangat mirip sekali dengan mendiang istrinya.

"Yeah, aku menyukai masakanmu Mr. Lee... Tapi sedikit asin", ucapnya agak sungkan untuk berkata jujur.

" Tidak apa-apa Tuan Silas, akan saya perbaiki lagi cara memasak ini lain kali. Terimakasih banyak atas masukannya, " Ucap Joan sambil meringis canggung. Percakapan mereka terlihat sangat kaku.

***

Hari berganti hari. Joan telah menjalanu kegiatannya sehari-hari sebagai istri Daniel tanpa ada perubahan apapun. Daniel tetap dingin dan jarang berbicara kecuali ketika makan bersama, begitupun putranya tetap tantrum. Ngomong-ngomong tentang putranya, hari ini Milo tampak berangkat dengan tergesa-gesa karena ada tambahan les pagi di kelasnya, sudah hampir telat sedangkan sopir pribadi telah menunggu Milo di mobil. Ia tampak setengah tergesa-gesa dibantu dengan Bibi Su yang telahnmemakaikan sergamnya. Bibi itu hendak mengambil sepatu milik Milo namun dicegah oleh anak itu.

"Terimakasih Bibi, Bibi bisa pergi ke dapur untuk menyelesaikan pekerjaan Bibi yang tertunda," ucap Milo seraya membungkuk sembari tersenyum. Ia seperti anak normal seusiannya yang berperilaku sopan dan ramah.

Bibi Su mengangguk patuh. Ia sangat senang karena mengetahui kepribadian lain dari Milo yang sangat sopan ini. Ia pun pergi meninggalkan Milo dan menuju ke dapur untuk menyelesaikan pekerjaan nya.

Raut wajah Milo kembali menjadi tengil. Bocah itu kali ini mempunyai rencana untuk mengerjai omega baru ayahnya.

"Mr. Lee! Mr. Lee, tolong pakaikan sepatu!" teriak Milo ketika Joan sedang bersiap hendak pergi ke kantor. Buru-buru ia turun setelah mendengar Milo memanggilnya.

"Ah sebentar, "ucapnya.

Milo berdecak kesal, karena Joan terlalu lama. Joan akhirnya sampai di lantai satu dan langsung bergegas mengambil sepatu Milo yang berada di dalam rak kaca. Ia terlihat kebingungan karena banyak sekali sepatu koleksinya. " Milo, yang mana? Disini banyak sekali.. " ucap Joan.

"Ck, warna hitam, merk nik*, Cepatlah sedikit Mr. Lee! Bisa, bisa aku terlambat. " teriak Milo.

Joan buru-buru mengambil sepatu yang dimaksud, kemudian setengah berlari menuju ke sofa dimana Milo sedang duduk sembari mengangkat kakinya dan meletakkannya di meja.

Milo melirik sepatunya, memang benar sepatu yang diambilkan Joan. Ia merasa gagal untuk menjahili sekretaris itu. Ia merasa kesal.

"Pakaikan." Ucapnya.

Joan buru-buru menurunkan kaki Milo dan memakaikannya sepatu kedalamnya.

"Oww... Sakit, hati-hatilah Mr. Lee, apa kau mau kakiku lecet, heh! " ucap Milo dengan kasar.

Joan mulai kesal, rasanya ia ingin menjewer telinga anak itu. Ia memasukan kaki Milo secara perlahan hingga memastikan kaki itu telah masuk seluruhnya. Ia kemudian mengikat tali itu dengan rapi dan kuat.

"Selesai," batinnya. Joan menyunggingkan sedikit senyumnya, karena berhasil melakukan hal yang belum pernah ia lakukan sebelumnya. Mengasuh anak nakal seperti Milo adalah tantangan tersendiri baginya.

***

[BL ABO] AmarylisWhere stories live. Discover now