3

25 4 0
                                    

"DEKAN! FOKUSLAH!"

"EEEKKKKK, YOS-- ARGHH!"

Bukk!

Dekan terjatuh dengan tidak elegan. Setelah pedang kayu milik Yosa itu melesat cepat dan berhenti tepat di samping lehernya — kurang satu sentimeter lagi sebelum menyentuhnya.

Memang seharusnya Dekan tak mengalami itu, akan tetapi Yosa justru menendang kakinya yang membuat Dekan mau tak mau menjatuhkan diri.

"The young duke really got beaten up by sir Yosa."

Bisikan para ksatria di kediaman Kleine tidak ada yang salah. Ini bukan sparring, melainkan pembantaian sebelah pihak. Dilihat bagaimanapun Yosa memang mengeluarkan skillnya. Padahal sebelum ini, ia menyamakan kekuatannya dengan Dekan.

"Yosa, katakanlah, apa aku berbuat salah padamu?"

Yosa menggeleng. Ia mengelap peluh yang bercucuran. "Tidak ada. Apa yang kau maksud?"

"Minimal kau atur ekspresimu itu jika mengatakan tidak." Dekan berdiri dan membersihkan celananya yang terkena debu.

Dahi Yosa berkerut. "Bukankah wajahku memang seperti ini?"

Dekan mengembuskan napas panjang. Memang ya, manusia itu suka tidak tahu diri. Seperti inilah orang yang tidak biasa berbohong justru melontarkan hal yang berlawanan dengan hatinya.

"Sejak tadi kau tidak berbicara, bahkan saat sparring pun kau tidak mengomentari gerakanku. Kau malah mengeluarkan segenap tenaga melawanku. Itu sangat berbeda dengan dirimu yang biasanya."

"Mengaku saja!"

Yosa mengembuskan napas panjang dan menjawab, "Jangan berlebihan, aku meningkatkan level sparring kita demi kebaikanmu, agar kau terbiasa melawan orang yang lebih kuat darimu."

Dekan hendak membalas, namun mulutnya kembali bungkam. Ia pikir topik pembicaraan itu cukup sampai di sana saja, jika melebar, ia yakin Yosa akan memusuhinya sungguhan.

"Omong-omong, semalam aku menyelinap ke festival perayaan semalam."

Atensi Yosa kini terpatri pada Dekan. Semalam ... saat di mana ia melihat wanita tersayangnya malah menangis di hari bertambah umurnya.

"Apa yang kau lakukan? Kau bertemu seseorang?"

Mungkin ia bertemu dengan Alita dan terjadi perselisihan di antara mereka. Itu kemungkinan terbesar alasan mengapa ia menangis semalam, pikir Yosa.

Namun perkiraannya meleset, jauh dari sasaran. Jawaban yang diberikan oleh Dekan benar-benar tak dapat ia prediksi sama sekali.

"Aku bertemu dengan putri keluarga Astrid di sana," katanya dengan ekspresi wajah lembut.

"Tunggu, bukankah putri mereka telah mening-- ah, apa maksudmu putri angkat mereka?"

Dekan mengangguk. "Iya, Angelina namanya."

Yosa menahan pertanyannya. Kini otaknya berputar keras karena jawaban Dekan yang terdengar aneh itu.

Angelina? Apa mereka sudah sedekat itu? Dan ... wajahnya itu.

"Aku melamarnya semalam."

"Uhukk-- m-melamar?! Siapa melamar? Kau?!"

Mata Yosa membulat. Tak dapat ia sembunyikan rasa terkejutnya itu. Astaga, bahkan kabar ini lebih mengejutkan ketimbang berita tentang wig kaisar yang copot saat pidato bulan lalu.

T-tunggu ... kalau begitu bagaimana dengan Alita?

"Apa ada orang lain yang mengetahui ini?"

Dekan mendongak, menatap langit. "Ibuku dan ... dirimu, mungkin? Aku akan mengatakannya pada ayahku nanti saat ia pulang."

I Know He Doesn't CareWhere stories live. Discover now