25 | Cupcakes

Mulai dari awal
                                    

"Terima kasih, dok. Kami permisi."

"Pulanglah dengan aman."

***

Sepulang dari sana, aku dibuat terkejut dengan tiga pesan yang dikirimkan Park Ji-young. Sangat tiba-tiba dan setelah sekian lama, isi pesannya juga membuatku berpikir lebih lambat untuk mencerna kalimatnya.

Jie: aku akan ke Jakarta bulan depan, apa kita bisa bertemu?
Jie: entah kenapa aku sangat merindukanmu.
Jie: maaf

Pertanyaan pertama yang kupikirkan adalah, untuk apa dia ke Jakarta?!

Yang langsung terjawab setelah aku menemukan poster di laman beranda sosial mediaku. Poster fanmeet Park Ji-young yang akan digelar bulan depan.

What the fuck...

Apa Tuhan ingin bermain-main denganku?

"Apa tuh?"

Di tengah kegalauanku, aku harus dihadapkan pada sosok paling mengesalkan di rumah. Siapa lagi kalau bukan Agam. Anak itu dengan lancangnya mengambil ponsel yang tengah kupegang. Duduk santai tanpa tahu aku ingin sekali menendangnya.

"Dih? Dia ngadain fanmeet? Emang fansnya banyak?"

Refleks aku mencubit pahanya. Cubitan kecil justru terasa seperti neraka, kan? Terbukti dia langsung menjauhkan diri dariku.

"Sakit!"

"Makanya punya mulut jangan lemes-lemes amat. Disekolahin tinggi-tinggi bukannya makin beradab malah nol."

"Ck. Yaudah maaf."

Mataku berotasi degan jengah. Daripada meladeninya, lebih baik aku berpikir haruskah aku ikut menjadi partisipan atau tidak. Aku pikir lebih baik aku ikut saja, dan menerima ajakannya untuk bertemu. Ini waktu yang pas untuk memberitahukan kehamilanku. Tapi aku sangat takut akan respons yang dia berikan nanti. Aku takut dia tidak menerima anaknya, aku sungguh tidak siap mendengar penolakan darinya.

Dia harus mengakuinya namun mengingat pekerjaannya...

"Kenapa lo? Bingung mau ikut atau nggak?"

Tebakan Agam tepat sekali. Aku mengangguk lesu. "Menurut lo kali ini gue mesti ikut atau nggak?"

"Bukannya tiap dia ada event lo pasti datang, even seenggak penting red carpet award aja lo pasti berusaha datang di tengah jadwal kuliah."

"Ya itu pas gue masih bebas."

"Emang sekarang nggak bebas?"

"Nggak. Sekarang gue lagi hamil dan gue jelas kudu prioritasin kondisi bayi gue."

"Ow, jiwa keibuannya mulai hadir nih kayaknya." Dia mengejek karena diakhir dia tertawa terbahak-bahak. Namun itu tak lama, hanya sepersekian detik karena tawanya langsung berhenti setelah dia berdeham.

"Gue rasa keponakan gue termasuk bayi yang kuat. Terus kalau kata orang-orang kan, kalau ibunya happy, janin juga ikutan happy. Gak tau itu bener atau nggak, soalnya gue gak pernah hamil."

Ingin sekali aku berteriak di depan mukanya, mengabsen seluruh kata-kata makian padanya. Namun sebelum aku membalas, Agam lebih dulu melanjutkan. "Santai, Kak, lo sama dia gak saling kenal, terus entar di sana juga gak akan ada yang bakalan nanya 'kamu udah nikah ya? Suaminya kok gak ikut nganter?'. Nggak bakal ada yang kepikiran nanya privasi lo sampai sejauh itu. Gue jamin."

Gelagatnya yang terlihat menyebalkan namun menggemaskan praktis membuatku melepaskan tawa ringan. Hiburannya boleh juga. Sayangnya dia tidak tahu sejauh mana aku mengenal Park Ji-young.

Cupcakes | JisungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang