21 | Cupcakes

13 3 0
                                    

| happy reading |
| don't forget to give your best support |

###







"Pacarmu udah pulang lagi, Tar?"

Aku mengangguk menanggapi pertanyaan yang Papa ajukan. Kupikir itu cukup, tapi melihat Papa yang masih berdiri di ambang pintu kamar membuatku mendongak menatapnya. "Kenapa, Pa?" tanyaku kemudian, seraya membenarkan kacamata yang tengah kupakai.

"Ada Sandi di luar."

"Hah? Kok?"

"Temui dia dulu sebentar, habis itu istirahat."

Sebentar, aku masih tidak mengerti apa yang Kak Sandi lakukan di sini. Dia tidak mengabariku akan ke sini, jadi aku tidak bisa menebak. Terlebih, ini malam hari...

"Kak Sandi?" Senyum canggung langsung terukir di bibirku ketika mata kami bertemu. Astaga, beberapa hari tak bertemu rasanya seperti kembali ke awal pertemuan kami waktu itu. Sangat canggung.

"Oh? Hai. Gimana kondisimu? Maaf aku baru bisa jenguk."

"Eh... nggak papa kok, aku udah baikan sekarang. Besok juga kerja lagi."

"Tapi kamu keliatan masih pucat, Tar. Gak papa sembuh aja dulu, orang kantor juga pada maklumin, kamu kemarin kerja keras banget."

Sejujurnya aku tidak tahu harus membalas apa, jadi kualihkan saja topiknya ke hal lain. "Kamu mau minum?"

"Nggak, gak usah. Aku cuma sebentar aja, gak enak sama orang tua kamu."

"..."

"Aku cuma mau memastikan kondisi kamu doang sih."

"Ehem ehem, inget tunangan, Kak."

Agam sialan. Mulutnya benar-benar butuh disumpal tiang listrik apa ya?

Aku ingin sekali mengejarnya untuk setidaknya memberikan dia tamparan keras di punggungnya, kalau saja Kak Sandi tidak bertanya dengan nada gumaman yang masih terdengar telingaku.

"Tunangan?" Saat wajahnya menoleh lagi padaku, seluruh tubuhku mendadak beku. "Kamu udah punya tunangan?"

"..., udah."

"Oh." Dia berdeham, dan aku tak tahu maknanya apa. Aku bahkan bergeming ketika dia terlihat bersiap akan pergi. "Yaudah, aku pergi dulu."

Bagaimana bisa aku membiarkan dia pergi ke pintu depan sendirian? Itu sungguh tidak sopan dan bukan didikan Mama sekali, tapi di situasi sekarang... mengobrol basa-basi sembari mengantarnya ke halaman sangat tidak memungkinkan. Keadaan tidak mendukung, aku tidak tahu bagaimana cara menghadapinya di kantor besok.

Selama beberapa saat, aku memilih berdiam di sana. Merenungkan tingkahku saat bersamanya beberapa saat lalu, itu seperti bukan diriku. Ada apa dengan diriku?

Lelah dengan pikiran itu, aku lantas berjalan menuju kamar. Sudah hampir pukul sepuluh, aku harus istirahat seperti perintah Papa. Namun ketika aku bersiap membaringkan diri, tiba-tiba saja ponselku yang kusimpan di dekat bantal berkedip beberapa kali. Ada pesan.

Kak Sandi: maaf tiba-tiba pulang. Maaf juga karena aku cuma berani mengakui ini lewat pesan. Tari, aku masih sayang sama kamu. Ini salah, aku tau, makanya aku minta maaf. I've my own family, aku juga udah berusaha untuk fokus ke Gita selama ini, tapi lihat kamu lagi waktu itu.. ternyata memancing lagi perasaan yang berusaha aku lenyapkan. I can't hide it, Tar, jadi maaf kalau aku langsung pergi setelah dengar kamu mau nikah.

Orang gila. Maafmu tidak berguna, Kak. Sialan aku ingin sekali memblokirnya tapi tidak bisa.

***

Cupcakes | JisungUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum