44. Lingkaran Kebimbangan

53 7 0
                                    

Motor matic putih Alfi melaju menembus kepadatan Bandung di pagi buta yang segila ini. Hanya butuh setengah jam lebih untuk sampai. Karena setelahnya dia sudah berhasil melesakkan matic putihnya di antara ratusan motor lain yang penuh sesak di dalam parkiran.

Baru saja Alfi melangkah turun, matanya menangkap Anna muncul begitu saja dari arah lain. Sontak membuat rasa kesal Alfi kambuh mengingat obrolannya dengan Miko beberapa hari lalu. Tapi, rasa ibanya juga timbul lagi.

Alfi memejamkan mata sejenak. Tubuhnya menegang kaku saat gerombolan Anna melangkah ke arahnya. Pelan ditekannya dada yang berdenyut nyeri. Mata hitam kelamnya menatap lurus ke depan. Namun tak bisa menghindari Anna yang berjalan semakin dekat. Sedikit tidak enak, dikirimkannya seulas senyuman tepat ketika Anna lewat didepannya— sekedar untuk menyapa. Sekilas dia bisa merasakan Anna membalas senyumnya. Lalu terdengar jeritan-jeritan dari jauh. Alfi memilih tidak perduli dan melanjutkan langkah menghampiri teman-temannya yang sudah berada di tongkrongan WI-FI. Ada Rendi yang entah sejak tadi melamunkan apa, Reihan yang mengusili Rion bermain game, Rion yang membalas tingkah menyebalkan Reihan, dan Tegar yang fokus pada bacaan buku novelnya.

"Heh, minggir-minggir! Lo ngehalangin pandangan gue, duh!" tegur Rendi sambil dengan seenaknya mendorong-dorong tubuh Alfi. "Gue lagi ngelihatin ayang Pani."

Alfi hanya menatap jengah. Akhirnya dia menyingkir.

"Rei, Rei. Coba lihat itu ayang Pani gue. Duh, mulus banget pahanya. Seksi lagi itu roknya. Tarik dikit lagi kenapa, ih. Gemes gue."

Alfi geleng-geleng, "Astaghfirullah, Ren. Jaga mata Lo dari hal-hal kayak gitu. Dosa, Ren. Nggak inget Lo yang dibilang Syaikh Anwar waktu mondok? Perempuan adalah aurat. Mereka itu fitrah yang sangat berbahaya bagi kaum laki-laki."

Rendi menatap gemas, "Halah, apaan deh? Ganggu banget sih Lo, Fi. Mumpung lagi ada pemandangan gratis, ya, nikmatin aja. Lagian dia sendiri yang pakek rok pendek. Bukan gue juga yang minta."

Alfi mengambil tempat disamping Tegar. Meletakkan tasnya di atas bangku dan menatap Rendi lagi tak habis pikir. "Perempuan itu bukan objek semata. Mesti di jaga. Harusnya Lo tahu itu. Lo kan santri lulusan pondok, Ren."

"Aduh, mulai kan. Ceramah lagi si Mas Gus satu ini." Rendi mencibir bete. "Gue nggak ngapa-ngapain aja diceramahin. Tepok jidat, dah. Belum kalau besok gue udah mulai grepe-grepe cewek beneran? Asyik kayaknya kalau malem minggu gue ajak ke taman kampus pas sepi gini."

"Yeu, ya jangan sampe ketahuan Mas Gus kalau mau grepe-grepe, Ren. Ntar Lo malah di rukiyah lagi." Reihan melirik jahil. Menghindari tatapan Alfi yang berubah kesal. "Boleh juga ke taman. Ahaha, kalau Lo mau aman, ya, di semak-semak aja sekalian grepe-grepenya."

"Boleh juga, Rei. Next time gue coba kalau udah berhasil deketin yang ini." sahut Rendi sambil menyugar rambutnya bangga. Lalu beradu high five dengan Reihan.

Alfi tersenyum sekilas dari balik buku yang baru saja dibukanya. Niatnya membaca hilang sudah setelah mendengar perkataan tak senonoh teman-temannya. Meski hanya pelan akhirnya dia berucap dengan nada penuh sindiran pada mereka.

"Allah itu maha melihat. Allah selalu mengintai tindak tanduk umatnya. Dan setiap perbuatan pasti ada balasannya."

Reihan langsung kicep tak bersuara. Kalau sudah seperti ini, tidak ada yang berani berkomentar lagi. Namanya juga manusia, diingatkan sedikit langsung kelimpungan. Giliran lagi khilaf kesenangan. Disamping Reihan, Rendi mencibir sambil menyenggol-nyenggol lengan Reihan. Tidak terima Reihan membalasnya. Lalu Rendi membalas lagi.

"Lo, sih, Rei. Gangguin Mas Gus."

"Lo yang mulai duluan. Jadi ceramah kan!"

"Enak aja. Lo yang bikin dia kumat."

Hallo, Pak DosenWhere stories live. Discover now