43. Ada Debaran Singkat

53 6 0
                                    

Taxi yang ditumpangi Anna akhirnya tiba tepat dihalaman depan Fakultas Ekonomi. Seperti biasa, kicau keramaian para mahasiswa menyambutnya dari segala sisi. Ada gerombolan yang sibuk menikmati Wi-Fi, ada yang berbondong-bondong ke kantin, malah ada juga yang berkerumun dengan organisasi.

Langkah Anna tertuju ke arah parkiran. Melihat Fanny dan motor matic hijaunya melaju kesana. Lalu disusul Rara dan matic merahnya. Membuatnya segera menyusul mereka. Dari jauh dilihatnya Rara tengah melepas helm dan Fanny merapikan tasnya.

"Ih, Nana. Tumben Lo nggak nelat?" sambar Fanny kemudian. Sementara Rara hanya melirik sekilas.

Anna mengerjap. Kalau bukan gara-gara Miko yang berbuat ulah dan terus menginterogasinya, pasti dia tidak akan berangkat sepagi ini. Belum lagi teror chat dari Wulan terus menghantuinya. Membuat kepalanya semakin pening saja.

Semua gara-gara dia ngambek dan akhirnya melarikan diri kabur ke kampus. Padahal biasanya dia akan datang lima belas menit lebih lambat. Baiklah, Anna harus banyak berterima kasih kepada Miko dan Mamanya.

"Heh, gue nanya Nana!"

Anna menampilkan senyum palsunya, "Eh, lagi pengen berangkat pagi aja. Ehehe."

"Halah. Paling kena marah Mas Miko lagi dia, Fan." cibir Rara. Kini mereka berjalan bersisian menuju kelas, dengan Anna yang berdiri ditengah-tengah kedua teman gilanya itu.

"Bener juga Lo, Ra." kekeh Fanny. Setelahnya dia langsung merangkul lengan Anna.

Rara hanya menahan tawa, "Oh iya, gimana Om Wirya, Nar? Baik-baik aja kan?"

"Alhamdulillah. Udah baikan kok, Ra."

"Aih, ikutan seneng aku. Kapan-kapan kami nengok ya?" sahut Rara.

"Udah, nggak usah repot-repot. Papa udah mau pulang kok. Malah udah sehat banget. Udah mau kerja aja dia." kekeh Anna.

Fanny langsung menoleh kaget, "Ciah, orang sibuk mah gitu. Sehat dikit langsung kerja. Nanti kalau sakit bingung lagi."

Mendengar kicauan Fanny, Anna langsung mengirimkan tendangan mautnya tepat di lutut gadis itu.

"Ampun, Nana! Gila Lo ya! Sakit banget!"

"Mampus!" ringis Rara pelan, dia menatap Fanny penuh iba.

Anna sendiri melengos bete. Lalu satu suara yang tak diharapkan menyeruak begitu saja. Anna nyaris berpikir untuk kabur. Tapi Fanny dan lututnya menghalangi. Sebelum dia berhasil melancarkan aksinya, suara itu malah semakin gencar dan dekat.

"My sweetie baby Nana! Pacar kesayangan gue!" Dipta menyampirkan lengannya begitu saja ke sekeliling leher Anna, setelah mendorong tubuh Rara menyingkir dari dekat gadis berparas Chinese itu. Tidak ketinggalan, tangannya yang lain mencubiti pipi Anna.

"Aduh. Lepas, Dip! Jangan cubit-cubit, ih. Nanti pipinya tambah ngembang tahu." ringis Anna. Namun lelaki berandal itu hanya tertawa-tawa.

"Nggak! Biarin aja ngembang. Kan gue jadi makin enak nguyel-nguyel nih pipi. Empuk kenyel jadinya. Ehehe."

"Dipta! Lepasin dong!" rengek Anna lagi dan tak digubris sama sekali oleh Dipta.

"Enggak! Udah dibilangin, gue nggak bakal lepasin Lo!" kekeh Dipta. "Pengen gue makan aja Lo, Na. Gemes banget deh, hihi."

"Ih, lepasin, Dip!" Anna berusaha melepaskan lengan si berandal itu dengan sekuat tenaga, tapi percuma. Meski kerempeng, badan disebelahnya ini tenaganya sangat lah kuat.

Dipta masih tertawa gemas, dia bahkan bersikap semakin kurang ajar dengan menoel-noel pipi Anna. "Apa sih, sayang? Ih, ah, ih, gemes banget deh! Sini peluk!"

Hallo, Pak DosenWhere stories live. Discover now