16. Here Always

3 1 0
                                    

~Aku masih di sini selalu,
Dan tetaplah bersamaku~
-Here Always, Song by; Kim Seungmin of Stray Kids.

 ***

SEOUL, November 2025

Malam di penghujung musim gugur tahun ini, Aidan membawa kedua kakinya melangkah menuju sebuah jembatan yang di bawahnya terdapat aliran air Kali Cheonggyeocheon. Menurut Aidan, ini adalah tempat kencan terbaik ke tiga setelah Sungai Han diposisi kedua dan Namsan Tower diposisi pertama—tempat pertama kali dirinya dan Bianca bertemu.

Tatapan kosong itu Aidan arahkan lurus ke bawah, menatap air yang mengalir dengan tenang seolah tak ada hambatan apa pun. Dilemparnya tatapan itu kepada orang-orang yang tengah berjalan kaki di bawah sana, dan sepasang kekasih yang dimabuk asmarakan sedang duduk di pinggiran kali.

Kedua sudut bibir Aidan sedikit menyungging, tercipta senyuman tipis di wajah tampannya. Sedikit iri dengan pasangan kekasih itu. Dia berandai, jika dirinya dan Bianca bisa melakukan hal serupa. Duduk di pinggiran kali, mengobrol hal random sembari menyantap ubi bakar dan Hotteok. Pasti menyenangkan rasanya, apalagi melakukan hal itu bersama dengan orang yang kita sayangi. ( Hotteok adalah panekuk berisi pasta kacang, dijual sebagai makanan jajanan Korea Selatan. )

Namun, sepertinya itu hanya khayalan semata. Hubungannya dengan Bianca selama satu minggu ini merenggang, lebih tepatnya Aidan yang menghindar. Sejak kejadian tempo lalu di kafe, laki-laki berdarah Indonesia-Korea Selatan itu menjaga jarak dari Bianca Dirgantara. Setiap tak sengaja berpapasan di kampus, Aidan selalu bersikap tak peduli akan kehadiran Bianca kendati perempuan itu ada di depan matanya. Bahkan telepon dan pesan dari si perempuan Dirgantara pun tak pernah dia jawab atau balas.

Aidan menumpukan kedua sikutnya pada tembok pembatas, disaat bersamaan pula kedua tangannya bergerak menjenggut rambutnya sendiri.

“Lo bego, Aidan!”

“BERENGSEK LO HWANG AIDAN!!! LO PENGECUT, BANGS*T!!!”

Laki-laki Hwang itu tak mempedulikan tatapan aneh dari para pejalan kaki yang baru saja menyaksikan dirinya berteriak, mengumpati dirinya sendiri.

Kepala Aidan semakin menunduk dalam, tanpa sadar air matanya meluruh. Dia menyesal karena menjauhi perempuan yang dicintainya. Padahal, Aidan sudah berjanji akan menjadi penyembuh hati Bianca dari luka-luka lamanya. Harusnya Aidan tak menghindar dari Bianca kala bertemu. Harusnya Aidan menjawab panggilan telepon Bianca. Harusnya Aidan membalas pesan Bianca, bukan malah sebaliknya. Sekarang dia ingkar. Tak seharusnya Aidan menambah luka baru di hati Bianca di saat luka lamanya pun belum mengering. Tak seharusnya Aidan egois seperti ini. Harusnya Aidan menunggu ... sedikit lagi.

“Hwang Aidan!”

***

Di pinggiran Kali Cheonggyeocheon, hanya terdengar suara air yang mengalir dan beberapa orang yang juga tengah menghabiskan malam di tempat itu bersama teman atau pasangannya. Begitu pun dengan Hwang Aidan yang kali ini duduk di sana bersama dengan Bianca Dirgantara. Harusnya Aidan senang, karena hal seperti ini adalah momen yang sangat dia nanti-nanti, hanya saja situasi dan waktunya kurang tepat.

Udara malam di sana semakin dingin karena waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh lebih lima puluh lima menit. Namun sudah dua puluh menit berlalu, baik Aidan dan Bianca tak saling berbicara.

Mata sipit Bianca melirik ke samping kanan di mana Aidan duduk. “Ai—”

“Sebelas kurang lima menit.” Laki-laki itu menyela. Dia berbicara datar, ekspresi wajahnya begitu dingin, bahkan tak sedikit pun Aidan menoleh ke arah Bianca.

Antara Cinta dan Pendidikan [On Going]Where stories live. Discover now