Chapter 6 : New Road

12 3 0
                                    

"Jadi, apa maksud Mbak kita tidak bisa pulang?" tuntut Carossa dengan kedua tangan terlipat.

Calen memasukkan segenggam buah berkulit coklat mirip kiwi versi bola pingpong ke dalam tas serut berwarna serupa. Ia melakukan hal yang sama untuk tas satunya. "Portal itu hanya satu arah. Khusus keadaan darurat. Selain itu, ada kemungkinan mereka telah mengamankan rumah. Siap menangkap nona begitu kita kembali."

"Lalu bagaimana kita bisa pulang? Kenapa—" Carossa terdiam.

Ia baru saja ingin mengatakan, "Kenapa kau bawa kita kesini jika tidak bisa balik!" Tapi setelah berpikir sejenak, gadis itu sadar bahwa Calen sendiri tidak memiliki pilihan. Tidak mungkin mereka menelepon polisi dan mengatakan "Orang sayap hitam ingin membunuh kami!" Mereka pasti antara dibawa ke penjara karena mengganggu atau ke rumah sakit jiwa. Bukan pilihan yang bagus bagi Carossa.

Calen menghentikan kegiatannya dan menatap gadis itu."Maafkan saya, Non. Tapi, saya akan cari cara agar nona bisa kembali." Carossa mengangguk, setengah kecewa.

Ia tidak tahu berapa lama harus berada di sini. Mungkin berhari-hari? Berminggu-minggu? Atau bahkan berbulan-bulan? Ingin rasanya gadis itu berteriak. Ia ada ujian masuk kampus tiga bulan lagi. Gadis itu tidak ingin kerja kerasnya berbulan-bulan sirna hanya karena serangan satu malam itu. Tapi dia hanya bisa menghela nafas gusar. Mengamuk pun tak akan membuatnya pulang.

Setelah kedua tas terisi penuh, Calen menyampirkan salah satunya di pundak. "Ayo kita pergi sebelum mereka menemukan kita!"

Carossa mengambil tas miliknya. Meskipun rasa kecewa masih mengganjal di hatinya, tapi wanita itu mau bagaimanapun telah merawatnya sejak kecil dan bahkan menyelamatkannya. Setidaknya yang bisa ia lakukan adalah membawa barangnya sendiri. Gadis itu memasukkan hoodie hitam dan bukunya dan menyampirkan tas coklat itu di pundak. Rasanya tidak seberat tas sekolahnya selama ini.

Begitu keluar salah satu reruntuhan, cahaya matahari sekejap menyambut mereka. Lebih terang dan panas daripada di dalam. Carossa menoleh ke belakang sejenak. Reruntuhan itu tidak memiliki atap segitiga dari kebanyakan rumah di dunianya. Terbuat dari batu-batu raksasa berwarna putih kekuningan yang disusun bak batu bata membentuk balok. Namun, bentuk balok itu tak lagi utuh. Terdapat lubang besar menganga di atap.

Manik coklatnya bergerak ke sekeliling. Mendapati puluhan reruntuhan batu di sepanjang mata memandang. Tidak hanya bangunan tua, di sini juga terdapat beberapa pohon beringin setinggi lima meter. Akarnya mencuat dari tanah. Beberapa menjalar di bangunan dekatnya. Daun di setiap pohon bisa dihitung jari. Namun, batang mereka masih kokoh tanpa ada tanda kekeringan sedikitpun. Tanah yang ia pijak juga tampak lebih kering dari tanah umumnya. Namun manik coklatnya masih mendapati rerumputan pendek tumbuh di sini. Bedanya rumput itu berwarna kuning terang.

Namun hal yang menarik perhatiannya adalah sebuah reruntuhan terbesar dari yang lain. Terlihat cukup jauh dengan bangunan lain menutupinya. Bangunan yang mungkin besarnya setinggi hotel bintang lima itu memiliki empat menara mengelilinginya. Satu menara telah hancur, menyisakan setengah bagian saja. Sementara tiga menara lain masih utuh meskipun kondisinya tak kalah mengenaskan. Tidak hanya itu, terdapat lubang menganga di atap bangunan raksasa itu. Tetap bangunan itu tak cukup untuk menutupi matahari yang berada di puncaknya.

"Setidaknya warna langit dan jumlah matahari di sini masih sama," gumamnya. Ia telah membaca banyak buku fantasi dengan konsep dunia yang beragam dan aneh. Menyadari bahwa dunia aneh itu ternyata masih memiliki kesamaan dengan bumi membuatnya sedikit tenang.

Kedua wanita itu berjalan menelusuri aliran sungai yang setengah mengering. Melewati puluhan reruntuhan dan pohon-pohon tak berdaun. Beberapa kali mereka menemukan semak berwarna kuning hingga merah. di sudut bangunan.

Mata Carossa tertuju pada sebuah menara yang menjulang tinggi di depannya. Ia sudah menyadari keberadaannya sejak keluar dari tempatnya berbaring, tapi ia tidak menyangka bangunan itu akan setinggi ini. Berbeda dengan reruntuhan di sekitarnya, menara ini masihlah utuh. Hanya beberapa retak pada batu yang menyusunnya. Carossa tidak bisa melihat ujung menara itu dengan jelas. Mungkin tingginya setara Menara Eiffel, meski ia sendiri pun belum pernah kesana.

"Auch!" Carossa meringis sembari memegang kepalanya.

Gadis itu mendongak ke atas dan memicingkan matanya, mencoba melihat ke atas, tapi ia tidak melihat apapun kecuali menara di depannya dan silaunya matahari. Menyerah mencari jawaban, ia memilih melihat ke bawah. Di dekat kaki berlapis sepatu panjang coklat pemberian Calen, tergeletak sejenis buah yang tidak pernah ia lihat.

Buah itu terdiri dari bulatan-bulatan kecil seperti anggur berwarna merah. Di ujung buahnya ada batang berduri yang menghubungkan setiap buahnya. Yang membuatnya unik adalah aroma seperti mawar dan ketahanannya setelah jatuh dari langit.

Tangan kecilnya dengan pelan mengambil buah itu, berusaha tidak menyentuh durinya.

"Anda baik-baik saja, Non?"

"Aku baik. Buah apa ini?" Carossa menunjukkan anggur merah itu.

Dahi Calen mengkerut. "Ini Roppe. Darimana nona menemukannya?"

"Jatuh dari atas." Carossa menunjuk menara yang kini tepat berada di depan mereka. Calen memperhatikan bangunan menjulang itu seksama.

"Apa ini bisa dimakan?"

Calen mengangguk. "Coba saja, Non." Carossa mengambil satu biji roppe. Ia memandangi buah mirip anggur itu beberapa saat. Sempat ragu mengenai rasanya. Setelah mengumpulkan keberanian, ia memasukkan buah itu ke dalam mulutnya dengan mata terpejam. Namun, setelah daging buah itu menyentuh lidah, mata gadis itu terbuka dengan manik coklat berbinar.

"Hm ... enak sekali, Mbak. Aku tidak pernah mencoba buah seenak ini," ujarnya sembari mencomot beberapa buah lagi. Ia memberikan beberapa pada Calen. Awalnya wanita itu menolak, tapi setelah bujukan gadis berambut berikat kuda itu, akhirnya ia luluh. Terlihat sekali dari mimik wajahnya bahwa dia juga menyukai buah itu.

"Buah ini memang enak. Persis seperti yang ada di legenda."

"Legenda apa?" tanya Carossa

"Dahulu salah satu dari dua orchis yang pertama kali menginjakkan kaki di pulau ini memberikan buah ini kepada pasangannya."

"Orchis?"

"Itu adalah sebutan untuk mereka yang tinggal di dunia ini." Carossa mengangguk paham.

Calen melanjutkan. "Sejak saat itu, banyak orchis yang bilang kalau memberikan roppe kepada pasangannya, cinta mereka akan abadi."

Pikiran gadis itu tiba-tiba terbayang pada pria berambut hitam di mimpinya. Membuat kedua pipinya merona. Carossa sontak menggelengkan kepalanya.

"Kenapa aku malah memikirkan lelaki itu? Itu kan saja mimpi. Ayolah, Ros! Dia hanya salah satu dari ratusan bunga tidur anehmu. Tidak ada bedanya dengan mimpi-mimpi aneh lainnya," gumamnya dalam hati.

Calen kembali menatap ke arah langit. Tepatnya pada menara berwarna putih kekuningan itu. "Tapi walau jatuh dari langit sekalipun tetap saja sangat mustahil."

"Kenapa?"

"Buah ini sangat langka dan hanya bisa ditemukan di Hutan Vetiti. Tapi tempat itu sangat terlarang. Tidak ada satupun orchis hidup yang bisa keluar dari tempat itu. Bahkan hewan dan tumbuhan sekalipun," jelas Calen dengan dahi mengkerut. Carossa jadi ikut kepikiran.

Kedua perempuan itu memutuskan melanjutkan perjalanan. Jarak mereka dengan menara kian menjauh. Mereka bahkan berbelok mengikuti anak sungai yang hampir mengering. Carossa terus mengikuti Calen, tidak memiliki pilihan. Tidak ada yang berbicara lebih. Mereka berdua terjebak dalam pikiran masing-masing. Menempuh perjalanan menuju tempat yang dirasa aman di dunia asing ini.

To be Continued

Apa buah favoritmu?

First make : 26 July 2019

Remake : 24 April 2024

Tana Toraja, 1713 words

AlstellaWhere stories live. Discover now