Chapter 1 : Dark Road

23 6 0
                                    

Manik coklatnya tidak menoleh pada buku di hadapannya. Deretan soal berjejer rapi di setiap halamannya. terdapat beberapa coretan pensil di bagian yang kosong. Di samping buku tebal itu, terdapat binder oranye berisi jawaban dari soal-soal itu. Tangannya beberapa kali memencet pensil mekanik dan memasukkan isinya. Pikirannya tampak terhanyut dalam lautan soal matematika. Bagai anak kecil yang berusaha menyelesaikan puzzlenya.

"Eh ... Halo Carossa." Disampingnya berdiri gadis berambut hitam lurus. Tangannya memeluk buku kumpulan soal serupa. "Lagi belajar di perpus?"

Gadis bernama Carossa itu mengangguk tanpa menoleh. Membuatnya hampir saja mengumpat jengkel. Namun, gadis itu berusaha menahan emosinya dan kembali tersenyum. "Aku juga lagi belajar untuk ujian. Tapi ada soal yang kurang kumengerti. Bisa bantu aku?" Gadis itu membuka bukunya dan menunjukkan soal yang dimaksud.

Carossa menatap soal itu selama beberapa saat. Dengan pensil dan bindernya, ia mulai mencoret–coret langkah yang diyakini bisa mengantarnya pada jawaban. Alisnya terkadang mengenyit, namun berhenti saat berhasil menemukan jawaban. Ia akhirnya menatap gadis itu.

"Boleh. Begini cara menyelesaikannya."

Carossa menjelaskan setiap langkah yang diperlukan untuk menyelesaikan soal cerita matematika. Gadis itu mengambil kursi dan duduk di samping Carossa sembari mengamati penjelasan dengan seksama. Namun, bukannya senang, gadis itu kini justru menggaruk kepalanya.

"Apa kecepatan?"

Gadis itu menggeleng. "Gak, kok. Aku sudah paham. Boleh aku bawa kertas coretan ini?" Carossa mengangguk.

"Terima kasih banyak." Gadis itu dengan cepat meninggalkan Carossa dan berkumpul dengan teman-temannya di meja lain. Sementara Caarossa kembali menatap bukunya.

"Gimana?"

"Ga paham. Setidaknya aku dapat jawabannya," ujar gadis itu sembari menunjukkan kertas di tangannya. Kedua temannya berkumpul, memperhatikan coretan yang tidak begitu rapi itu.

"Gils, lu beneran tanya sama si sombong itu."

"Lagian, gara-gara kalah main sama lu pada. Gua harus menderita gini."

"Gimana rasanya diajar sama 'nona ambis'?"

"Ga enak banget sumpah. Caranya jelasin ga niat banget. Kek guru sejarah. Gua hampir ngantuk dibuatnya. Mana dia jelasinnya ga jelas banget." Gadis itu sudah duduk di kursinya. menghadap kedua teman itu yang tengah menyalin jawaban ke buku. "Pas gua datengin, dia ga noleh sama sekali. Sombong banget."

"Di sekolah kerjaannya baca buku doank. Sok pintar banget. Ngebet banget pengen masuk kampus itu."

"Aku bisa dengar, tau," gumam Ros pelan. Ia mengaku perbuatannya agak cuek. Tapi mau bagaimana lagi. Sebagai siswi tahun akhir, ia diharuskan mengikuti banyak ujian. Salah satu yang terpenting adalah ujian masuk universitas. Dan ia sudah memutuskan tujuannya. Kampus terbaik di kotanya. Ujian masuknya memang lebih sulit. Karena itu, ia harus berjuang keras. Apalagi waktu ujiannya hanya tinggal menghitung minggu.

"Hey! Tempat ini mau ditutup. Cepat keluar!" maki penjaga perpustakaan berbadan gemuk dengan rambut dikonde. Wanita itu berdiri di depan pintu dengan tangan terlipat dan raut wajah gusar.

"Padahal tinggal 5 soal lagi," pikir Carossa kecewa. Ia bahkan tidak sadar bahwa hanya tersisa dirinya seorang di sini. Dengan pasrah, gadis itu memasukkan barang-barangnya ke dalam tas, dan meninggalkan perpustakaan. Ia sempat menatap wanita itu sesaat sebelum akhirnya menunduk. Carossa benci saat dirinya yang seperti ini.

Setelah menuruni anak tangga dari lantai tiga, Carossa berjalan meninggalkan sekolahnya. Ia menatap langit biru yang mulai didominasi oleh semburat merah. Matahari kini telah bersembunyi di barat, berganti dengan sosok rembulan. Angin dingin menerpa pepohonan di sepanjang jalan dan menggelitik kulitnya. Dalam hati ia menyesal tidak membawa jaketnya ke sekolah.

AlstellaWhere stories live. Discover now