Chapter 5 : Wake Up

12 4 0
                                    

Aku lelah terus berlari.

Dengan kaki telanjang, aku menyusuri lorong di depannya. Sisi kiri kananku diapit oleh dinding batu putih. Lantai batu berwarna serupa terus bergetar. Begitupun dengan langit-langit di atasku, menjatuhkan serpihan batu debu. Memberikan tanda alarm di kepalaku untuk berlari. Tapi sesungguhnya aku pun tidak tahu kenapa bisa berada di sini dan harus berlaru. Seolah kakiku bergerak sendiri.

Tubuhku masih berbalut gaun putih selutut. Persis seperti yang pada mimpi sebelumnya, lengkap dengan bercak darah. Rambut coklat yang terkepang melambai seiring kakiku melangkah. Aku tidak bisa membuat model rambut merepotkan ini sendiri. Aku juga tidak pernah meminta Mbak Calen untuk melakukannya.

Aku benci mengakuinya, tapi sayap putih di punggungku menjadi satu-satunya sumber pencahayaan. Namun itu tidak berlangsung lama. Cahaya terang mulai terlihat dari ujung lorong. Aku mempercepat langkahku. Namun, cahaya itu ternyata lebih terang dari dugaan. Membuatku refleks memejamkan mata begitu tiba di ujung lorong.

***

Mata Carossa mengerjap beberapa saat, menyesuaikan pasokan cahaya yang masuk ke dalam pupil sebelum akhirnya terbuka sepenuhnya. Hal pertama yang ia lihat adalah langit-langit bangunan dari batu yang sudah runtuh sebagian, menampilkan birunya cakrawala tanpa awan. Berbeda dengan lorong gelap dalam mimpinya.

Gadis itu melirik sekitar, merasa asing dengan tempatnya berbaring saat ini. Ia mencoba menggerakkan tubuhnya, namun jari tangannya saja tidak mampu ia gerakkan. Sudut manik coklat gelapnya terpaku saat mendapati sosok pria berambut hitam shaggy duduk di samping tempatnya berbaring. Pakaiannya tidak biasa. Berwarna coklat dan entah kegilaan apa yang merasuki otaknya sehingga ia mulai berpikir baju dan celana selutut itu terbuat dari bahan sejenis kayu. Manik hitamnya menatap serius buku di depannya.

Kenapa bukuku bisa ada di tangannya?

Carossa berusaha untuk bangkit, tapi bersuara saja ia tidak mampu. Kedua matanya melirik lelaki itu tajam. Tidak suka barangnya dipegang oleh orang asing.

Beberapa menit kemudian, pandangan lelaki itu beralih padanya. Seolah menyadari tatapan menusuk itu, ia menutup buku tua itu bangkit dari kursi kaki tiga dari kayu. Buku itu diletakkan di atas kasur berbahan batu yang dialas dedaunan, tepat di samping Carossa. Lelaki berkulit putih sedikit gelap berjalan ke arah jendela, melompatinya dan seketika lenyap. Gadis itu menatap tak percaya, pasalnya untuk sesaat ia seperti melihatnya terbang ke atas dengan kecepatan tinggi sebelum akhirnya memejamkan mata karena cahaya silau matahari.

"Non, Non tidak apa-apa?" Seseorang mengguncang Carossa. Gadis itu terperanjat dengan napas memburu. Ia memegangi kepalanya yang masih terasa berputar-putar dengan tangan satunya bertugas menopang tubuh rampingnya dalam posisi duduk. Ia menoleh ke arah Calen yang telah duduk di sampingnya.

Wanita berkulit sawo matang itu menatap nonanya khawatir dengan nampan hijau berbentuk daun raksasa berisi semangkuk sup dan segelas air. Gadis itu meraba kasur tipisnya, mendapati buku peninggalan bunda tergeletak di sana, persis seperti dalam mimpi.

Apa itu benar-benar mimpi?

"Mbak merawatku sendirian?" Wanita berambut hitam legam itu mengerutkan dahinya. Carossa mengutuk dirinya dalam hati karena pertanyaan tidak masuk akal itu.

"Iya, Non. Pak Den ... dia tidak sempat menyusul." Carossa bisa melihat tatapan terluka di kedua manik hitamnya. Gadis itu juga bersedih. Pasalnya pria itu sudah menjadi supir sekaligus salah satu orang yang merawat dirinya dan bunda bahkan ketika bundanya jatuh sakit. Kedua orang itu sudah menemaninya sepanjang ingatannya.

Calen tersenyum lembut. "Tenang saja, Non. Pak Den pasti akan baik-baik saja," hiburnya Tapi aku tahu hatinya pasti masih begitu mengkhawatirkan suaminya. Carossa bisa memahami rasanya kehilangan keluarga.

AlstellaWhere stories live. Discover now