Azura terdiam merenungi perkataan Arjuan. Ia menatap selang infus yang terpasang di punggung tangan kirinya. Ini adalah bagian dari rencananya demi mencari jawaban atas tragedi kecelakaan tiga tahun lalu. Tidak menduga bahwa Satya akan muncul dan memperlancar rencananya.

"Gue pernah di posisi lo. Bahkan sampai sekarang gue nggak tahu gimana kabar Papa, Kakak Perempuan gue, dan keluarga gue lainnya. Pengalaman kita sama, sama-sama dituduh membunuh Mama kandung sendiri," ujar Arjuan kali ini menarik perhatian Azura.

Azura selama ini hanya tahu Arjuan tidak diinginkan oleh keluarganya. Kemudian sejak kecil Arjuan telah ikut Jayendra dan ayahnya, bahkan sudah seperti Putra Bungsu keluarga Athariz. Namun, darah lebih kental dari air, ia tetaplah Putra Bungsu keluarga Ravindra.

"Sekarang giliran, lo cerita, gue dengarin," ujar Azura sembari tersenyum. Mood-nya menjadi lebih cerah setelah berbicara dengan Arjuan tadi.

Arjuan tertawa kecil saat melihat senyum manis Azura. "Oke, tapi ini bukan adu nasib, ya?"

Azura tertawa dan menggeleng lucu. "Nasib bukan ayam yang bisa diadu."

"Potensi gue udah muncul sejak masih kecil. Waktu usia lima tahun, dari tangan gue bisa keluar api. Hal itu cuma Mama yang tahu dan dia rahasiakan. Soalnya nenek kakek gue masih percaya takhayul, dan katanya gue disebut sebagai pembawa kesialan. Awalnya Papa sama Mama nggak percaya, tapi setelah kejadian itu...."

Arjuan terdiam dalam lamunannya. Ia masih mengingat jelas saat gudang di belakang rumahnya dibungkus oleh kobaran api. Bahkan hatinya terasa seperti tersayat pisau mendengarkan jeritan ibunya yang terbakar di dalamnya.

"Kejadian apa?"

Suara Azura berhasil memecahkan lamunan Arjuan. "Lo beneran mau dengar?"

Azura mengangguk mantap.

"Jangan menyesal, ya?"

Azura mengangguk lagi.

"Waktu itu siang hari, Kakak gue ngajak main di halaman belakang di dekat gudang penyimpanan barang bekas. Usia kakak waktu itu sepuluh tahun, beda lima tahun sama gue. Sebelumnya dia sama kek nenek sama kakek, benci sama gue. Nggak tahu kenapa, tiba-tiba dia baik ngajak main gue. Gue ingat yang di rumah cuma Mama, Papa lagi keluar kota, dan semua pekerja pada ngambil cuti. Siapa sangka kakak cuma pura-pura, dia ngunciin gue di gudang."

"Kakak lo bisa sebenci itu?" tanya Azura dengan raut prihatin.

"Dia benci gue karena gue adiknya. Dia nggak pengen gue ada. Dia nggak mau perhatian Mama Papa kebagi. Ditambah doktrin dari nenek kakek kalo gue pembawa sial, dia jadi makin nggak suka," jawab Arjuan.

"Terus yang lo dikunci di gudang tadi gimana?"

"Gue nggak tahu harus gimana. Udah teriak manggil orang, tapi nggak ada yang dengar. Akhirnya gue cuma bisa nangis. Gue nangis lama banget, sampai nggak tahu gue pingsan atau gimana, tiba-tiba sekeliling gue udah ada api dan Mama meluk gue erat banget. Di situ gue antara sadar dengan enggak, kata-kata terakhir mama bilang, gue harus mematahkan takdir buruk dan jangan mudah terpengaruh orang lain. Setelah itu mama dorong gue keluar dari gudang dan mama terkurung di sana. Para tetangga udah hubungi damkar, tapi terlambat, mama udah nggak ketolong."

Suasana hening setelah Arjuan menyelesaikan ceritanya. Azura sendiri sampai dibuat tak bisa berkata-kata mengetahui betapa kelamnya masa kecil Arjuan. Tangan kecilnya meraih tangan Arjuan dan menggenggamnya. Saat pemuda itu memandangnya, ia mengulas sebuah senyum tipis.

"Mama lo benar, kita harus bisa mematahkan takdir buruk. Jangan mudah terpengaruh orang lain yang jelas-jelas tidak memahami siapa kita, dan apa yang udah kita alami. Hwaiting untuk kita!" seru Azura bersemangat, sangat berbeda dengannya di awal tadi.

[2] LUNARWhere stories live. Discover now