21. Burning fire

18 5 0
                                    



***

Arjuan berjalan tergesa menuju ruangan rawat inap yang ditujukan resepsionis. Ia bahkan lupa melepas headphone di lehernya yang sebelumnya digunakannya di dalam mobil bersama Jayendra.

Lupakan soal itu. Saat ini Arjuan bisa melihat dari kaca pintu, Azura duduk meringkuk di ranjang. Di punggung tangannya terpasang sebuah selang infus. Setelah diam beberapa saat, Arjuan pun membuka pintunya.

Azura tampak terkejut ada yang memasuki ruangannya. Gadis itu mendongak sambil mengusap kedua matanya. Ekspresinya semakin terkejut saat mengetahui siapa orang tersebut.

"Lo kenapa di sini?" tanya Azura saat Arjuan duduk di kursi sebelah ranjang.

"Harusnya gue yang nanya. Kenapa lo bisa di sini? Udah tahu alergi seafood, tapi masih nekat makan. Kalau sampai fatal gimana?" omel Arjuan.

Azura menarik napas panjang, dan kembali menopang dagunya di kedua lutut. "Lo nggak paham."

Giliran Arjuan yang menghela napas. "Apa sih, yang gue paham? Sampai-sampai lo sekarat nggak ngabari gue. Gue nggak sepenting itu ya, Ra?"

"Ju, lo mau marah sama gue, silakan. Semuanya juga udah marah sama gue. Ricky bahkan nggak bisa redain marahnya sedikit pun dari gue. Lo benci gue juga nggak papa, jangankan kalian yang orang lain, gue aja benci sama diri sendiri."

"Lo ngomong apa sih, Ra?"

"Gue benci kenapa harus gue yang hidup? Kenapa bukan mama? Kalau gue yang pergi, Ricky nggak bakal benci sama gue, papa, nenek, dan semua orang nggak bakal ada yang nyalahin gue. Jantung yang masih berdetak ini, gue nggak layak nerimanya."

Arjuan prihatin melihat Azura menangis seperti sekarang. Ia paham apa yang dirasakan gadis itu. Tanpa disadari, kini Arjuan sudah memeluk tubuh gadis itu. Ia tidak menanya atau mengatakan apa pun, biarlah Azura melampiaskan semuanya.

Setelah tangis Azura mereda, Arjuan melepaskan pelukannya. Kini ia kembali duduk dengan satu tangan menghapus jejak air mata di pipi Azura.

"Ayo, mau cerita apa, gue dengarin."

"Kemarin gue ketemu dokter pindahan, dulu dia di Jogja, dia juga yang nanganin mama sama gue waktu kecelakaan. Gue tanyain apa yang sebenarnya terjadi. Dia bilang, yang sebenarnya paling parah itu gue, bukan mama. Gue kritis dan hampir meninggal, tapi mama donorin jantungnya ke gue, dan gue selamat. Sebaliknya mama nukar nyawanya dengan nyawa gue. Akhirnya gue tahu alasan kenapa Ricky, Papa, sama keluarga mama benci banget sama gue. Gara-gara gue mama meninggal."

Beberapa kali Azura hampir menangis di sela-sela ceritanya. Namun, genggaman Arjuan di tangannya berhasil menguatkannya saat goyah. Sama seperti yang pernah Arjuan katakan, Azura sendiri juga merasa tempat ternyaman dan teraman adalah di sisi Arjuan.

"Selama ini gue nggak tahu apa-apa. Gue cuma bisa nyalahin diri sendiri kenapa nggak ikut Mama aja."

"Mulai sekarang, lo harus belajar buat nggak nyalahin diri sendiri," ujar Arjuan.

Azura menggeleng kukuh. "Gimana bisa? Mama pergi karena gue, itu fakta."

"Tapi hidup dan mati seseorang sudah ditentukan sebelum dia lahir, Ra. Lo lahir dari rahim seorang wanita yang baik, sayang sama lo, bahkan rela berkorban demi lo, itu sebuah keberuntungan yang patut lo syukuri. Sebaliknya, Mama lo beruntung telah melahirkan dua orang anak yang sangat beliau sayangi. Ada pun dia nyelametin lo, bukannya itu kemauannya sendiri? Gue yakin, dia bahagia dan nggak menyesal telah ngasih jantungnya ke lo. Justru dia bakal sedih melihat lo terus-terusan terpuruk dan nyalahin diri sendiri, seolah lo nyalahin pengorbanan mama lo."

[2] LUNARTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon