06 - 2024.

4 2 0
                                    

Hi, one vote from you is
very valuable to me, thank u! 𔘓


●●●●

2024.


"How?" tanya Iryana, ia memutarkan tubuhnya. Meminta saran ke Jane.

"Great, nggak keliatan kayak Ira," Jane mengancungkan jempol.



Dua tahun berlalu.
Dua tahun Ira tetap mengunjungi Anna dalam diamnya.
Dan dua tahun itu juga, pembullyan itu masih terus berlanjut.

"Lo keliatan kayak biduan sumpah," Jane terkekeh melihat penampilan Iryana.

"Dih," Ira menatap Jane yang masih mentertawakan penampilannya. "Biarin aja, kalau gue ga kayak gini pasti bakalan dikenalin lagi."


"Pfftt,"

Jane memang kurang ajar. Ia masih mentertawakan penampilan Iryana.
Wig rambut ikal, makeup seperti badut dan baju aneh yang dipakai Ira saat ini memang sangatlah bukan seperti dirinya.

"Buru ah. Gue mau ke dunianya Anna sekarang,"

Walaupun lelaki itu masih sedikit tertawa, ia tetap menuruti perkataan Iryana.
Jane segera mengaktifkan alat tersebut dan mengecek sistemnya agar berfungsi dengan baik.

"Di dunianya Anna gue rasa belum ada alat ini ya?" tanya Jane kemudian.

"Tiba-tiba banget nanya itu?"

"Penasaran aja," Jane masih mengotak-atik alat tersebut. "Benerkan?" tanyanya sekali lagi, memastikan.

Ira mengangguk, mengiyakan. "Jangankan mesin canggih kayak gini, hak asasi manusia di dunianya Anna aja masih nggak berlaku."



Dua tahun berlalu, Iryana dan Jane masih sibuk dikuliahnya sekarang.
Tidak ada yang berubah.


____

Dua tahunpun berlalu di dunianya Iryanna.
Tidak, hilangkan ekspetasi kalian bahwa Anna telah bebas dari pembullyan tersebut.
Ia masih mengalami hal yang sama, hanya bedanya ia sekarang lebih mati rasa pada apapun.

Andai membunuh diri itu tidak dosa, ia pasti sudah melakukan hal itu dari dulu.
Walaupun Iryanna merasa ia bukanlah manusia yang dekat dengan Tuhan, tapi pemikiran seperti itu sudah ia buang jauh-jauh.

Hari demi hari yang Anna lewati memang semakin berat, ditambah sekarang ia sudah menginjak bangku kelas 12.
Masa-masa dimana semua siswa kelas akhir pasti lebih sibuk untuk megikuti tes ujian masuk ke universitas.

Anna menaiki bus untuk pergi ke sekolahnya hari ini.
Sekarang waktunya Ujian Sekolah, tinggal beberapa bulan lagi Anna akan lulus dari sekolah yang seperti neraka itu.

Bagaimana dengan kabar Helmi?
Lelaki itu baik-baik saja.
Ia masih suka menolong Anna walaupun sangat jarang karena Mia sudah mengetahui tentang Helmi yang masih suka menolong Anna secara diam-diam.





"Hai anak setan,"

Baru saja kaki Anna menyentuh lorong sekolah, tetapi rambutnya ditarik lagi oleh Mia.
Disini ramai, murid-murid pun berlalu lalang, mereka melihat hal itu, tetapi mereka terlihat biasa saja.

"Gue bingung kenapa lo bisa kuat banget?" tanyanya, ia masih menarik rambut Anna.

"Mi, tolong lepas dulu." Anna meringis, ia rasa helaian rambutnya menjadi rontok. "Gue minta maaf kalau gue ada salah sama lo, gue beneran ngga tahu apa salah gue sampai lo terus-terusan giniin gue selama 3 tahun ini."

"It's not as simple as you think," Mia menatap marah Anna. "Gara-gara lo, hidup gue hancur."

Hancur?

Mia melepaskan tarikan rambutnya ke Anna. Gadis itu pergi, meninggalkan Anna tanpa sepatau kata apapun.

Mia lucu sekali, pikirnya.

Hancur? bukankah seharusnya Anna yang berkata seperti itu?
Sejak ia memulai sekolahnya disini, Mia tiada berhenti menganggu Anna.
Konyol sekali.

Tidak ingin memikirkan lebih jauh, Anna pergi ke kelasnya. Ia merapikan rambutnya. Benar saja, banyak sekali helaian rambut Anna yang rontok akibat ulah musuhnya itu.


"Ann,"

Helmi berjalan dan menepuk pundaknya dari belakang.
"Buat lo," katanya.

Anna menerima ikat rambut dari Helmi, setelah itu laki-laki itu pergi sebelum Anna mengucapkan terima kasih.
Seperti itulah perlakuan Helmi kepada Anna selama 2 tahun ini. Ia hanya memberikan sesuatu, tanpa bicara lebih banyak lagi.


Sepasang netranya menatap Helmi yang sedang berjalan ke luar kelas. Dari jendela, ia bisa melihat bahwa Helmi menyapa murid perempuan lainnya, mengobrol dan tertawa akan sesuatu.

Anna iri, ia akui itu. Anna juga mengakui bahwa Helmi memang ramah pada semua orang. Sifatnya yang hangat membuat semua orang ingin berteman padanya.

Tidak boleh. Seharusnya Anna tidak boleh mengharapkan hal lebih hanya karena Helmi baik padanya.
Lagipula, interaksi mereka hanya sebatas Helmi menolong Anna. Itupun jarang terjadi.





















Dug.

"Sialan," Ira meringis, ia baru saja teleport dari dimensinya. "Sekolahan? Anna masih disekolah kah?" ia bergumam sendiri.

Iryana segera bersembunyi agar tidak terlihat oleh orang lain. Yah, walaupun sepertinya tidak ada yang mengenalinya sebagai Anna sekarang, karena ia memakai makeup yang sangat tebal dan bukan stylenya.

Suasananya sepi. Sepertinya semua anak murid sedang belajar, jadi tidak ada satupun manusia disini.

Ira menyusuri sekolah tersebut, ia ingin menaruh makanan dilokernya Anna.
Walaupun Ira tidak pernah membantunya secara langsung, gadis itu rutin memberikan makan siang kepada Anna.

Hanya hal itu yang bisa ia lakukan. Membantu lebih jauh sama saja dengan membunuh dirinya.

"Kayaknya lo suka banget ya Na sama ayam," Ira tersenyum, bergumam sendirian didepan lokernya Anna.

Setelah menaruh makanan untuk kembarannya itu, Iryana berencana ingin langsung pergi ke dunianya. Walaupun ia ditutupi oleh makeup seperti ini, tetap saja dia takut dikenali oleh orang lain.
Kejadian dua tahun yang lalu itu membuatnya cukup trauma.


"Okay, time to tele—"









Bruk.



Iryana menoleh ke sumber suara, walaupun dari jarak yang cukup tahu, Ira sangat mengenali orang itu.

"Anna!"

Gadis itu terisak, ia menutupi mulutnya agar suaranya tidak terdengar. Ira totally shock. Dia panik, tapi Ira juga bingung harus berbuat apa sekarang.
Ya, Anna jatuh dari rooftop sekolah.
Tubuhnya mengeluarkan darah, Anna tewas mengenaskan.


"Jangan sampai diri lo ketemu sama diri lo yang lain,"

Ucapan Jane berputar dikepalanya Ira.
Ia sangat ingin menolong Anna, tapi ia tidak bisa. Sangat tidak bisa.

Disini sepi, Ira tidak bisa berpikir jernih. Haruskah ia menolong Anna sekarang? tapi bagaimana dengan dua dunia yang ia lalui saat ini?

"Paradoks kamu sama dirimu yang lain bertabrakan,"

"Kalian satu jiwa dengan raga yang berbeda."



Iryana masih bisa membayangkan betapa sakit tubuhnya ketika ia dikenali oleh orang lain sebagai Anna. Ucapan Ayahnya Jane selalu terlintas dikepalanya.
Ira tidak ingin melakukan hal bodoh lagi, tapi apa yang akan kalian lakukan jika menjadi posisinya Ira sekarang?

"Kenapa lo bunuh diri?" Ira masih menangis. Sampai saat ini masih tidak ada orang disekitar Anna.

"Jane," Ira histeris. "Jane, lo harus tolong gue." Ira menyentuh jam tangannya, lalu berteleportasi ke dunianya.

Two fateWhere stories live. Discover now