02 - One person.

4 2 0
                                    

Hi, one vote from you is
very valuable to me, thank u! 𔘓



●●●●


2022.

Jane yang sedang bekerja di depan layar computernya terkejut melihat Ira yang tiba dimesin waktu itu.

"Kok cepet banget Ra?" tanya Jane. Ira tidak menjawab pertanyaannya, ia keluar dari mesin tersebut, kakinya tidak sanggup menahan tubuhnya. Ia terduduk, terisak pelan.

Iryana menangis. Jane yang melihat hal tersebut seketika mendekat kepada perempuan itu. Seraya menepuk-nepuk pelan pundak gadis itu.

Jane tidak bertanya apapun dulu setelah melihat hal ini, firasatnya buruk.
Sepetinya Iryana melihat kejadian yang naas tentang dirinya yang lain, sama halnya seperti Ayah Jane pertama kali pergi ke dimensi dirinya yang lain.

"Ngga apa-apa, nangis aja Ra. Keluarin semuanya. Maaf ya, kayaknya lo ngeliat hal yang diluar ekspetasi lo ya?"

Mendengar hal tersebut, Ira seketika menatap Jane. "Lo pasti tahu hal ini kan?" tanyanya dengan air mata yang masih menggumpal dimatanya.

Dengan pelan, Jane mengangguk.
"Kenapa lo ga kasih tau gue dulu tentang ini?!" Marahnya, napas gadis itu terengah-engah. Semenjak tadi pikirannya semakin kalut.

Jane hendak menjawab, tetapi Iryana langsung pergi dari hadapannya.
Ia pergi, tanpa mendengarkan alasan Jane terlebih dahulu.

"Diri lo yang lain emang keliatan 100% mirip lo, tapi itulah kuasa Tuhan. Ia enggan memberikan nasib yang sama pada dua raga yang berbeda walaupun jiwa mereka sama." Ucap Jane, diantara keheningan.

____

"Syukurlah, tanda-tanda vital pasien stabil, dia bisa pulang setelah dia sadar."

"Terima kasih Dokter," ucap Helmi.

Matanya melihat ke arah Anna yang terbaring lemah dibangsal Rumah Sakit.
Tubuhnya penuh dengan memar, wajah cantiknya pun tertutupi oleh luka disekitarnya.

Sebenarnya perkataan Ira tidak sepenuhnya benar. Karena masih ada satu orang yang peduli dengan keadaan Anna, walaupun orang itu bergerak dalam diam.

Helmi, ia teman sekelas Anna disekolahnya.
Helmi terpaksa membantu Anna secara diam karena ia juga takut dengan Mia, pembully utama Anna.

Bagi Mia, siapapun yang berani membela Anna dihadapannya atau ketahuan dengannya, ia akan bernasib sama seperti Anna.
Mia bukanlah murid sembarangan.

Money play. Itulah cara dunia ini bekerja.
Jika kamu mempunyai uang dan kekuasaan, maka apapun bisa berpihak denganmu.
Sayangnya, hal itu digunakan oleh kekuatan jahat seperti yang Mia lakukan.

Tangan Anna bergerak pelan, Anna membuka matanya.
Pemandangan yang pertama kali ia lihat adalah Helmi, dengan wajah khawatirnya.

"Hel-"

"Jangan," Helmi menidurkan kembali tubuh Anna yang hendak duduk. "Jangan duduk, lo masih belum sembuh."

Anna tersenyum tipis, "Cepet pergi Helmi, sebelum ada Mia atau mata-matanya yang ngeliat lo ngebantuin gue."

Suara yang lembut tapi perkataannya sangat menusuk bagi Helmi.
Anna benar, tetapi entah kenapa Helmi merasa sedih dan marah saat Anna mengatakan itu.
Harusnya ada kata-kata lain yang bisa Amna lontarkan.

"Makasih udah nolong gue lagi, nanti biaya rumah sakit gue ganti, okay?" ucap Anna.

Helmi menggeleng, "Ga usah." Ia memberikan plastik yang berisi obat dan perban untuk menutupi luka Anna. "Cepet sembuh, maaf gue ga bisa bantu banyak."

"Ngga apa-apa, gue cukup tahu diri kok." Anna terkekeh. "Cepet pergi, nanti lo bernasib sama kayak gue hel."

"Lo kenapa ngga lawan mereka, Na? atau lo lapor gitu ke polisi?"

Kepala Anna pusing sat ini, ia mencoba terlihat biasa saja didepan Helmi. Karena ia sadar, ia sudah cukup merepotkan Helmi selama ini.

"Ngga apa-apa, gue masih kuat kok." Jawab Anna tersenyum getir. "Udah cepet pergi Mi, gue khawatir lo nanti jadi kayak gue."

Helmi mendesah. Anna sangat menyebalkan, tetapi gadis itu tidak sepenuhnya salah.
Helmi juga tidak mau jika ia bernasib sama dengan Anna.

"Get well soon, telpon gue kalau lo butuh apa-apa."

Helmi melangkah pergi, meninggalkan Anna sendirian dibangsal Rumah Sakit ini.

Anna melihat obat-obatan yang ditebus oleh Helmi dipinggirnya. Perlahan air matanya jatuh kembali.
Ia sebenarnya sangat ingin Helmi disini, membiarkan teman satu-satunya itu mengurusnya.

Tapi ia tidak bisa.
Anna tidak mau nasib buruk menimpa Helmi nantinya.
Walaupun Helmi hanya membantunya setelah ia dihajar habis-habisan oleh Mia, tapi itu sangat berharga bagi Anna.

Setidaknya, Helmi mencegah Anna untuk mati ditangannya Mia.
Bagi Anna, jika lelaki itu tidak menolongnya, ia sudah mati dari dulu, jauh dari hari ini.










Setelah beberapa jam, Anna sudah merasa tubuhnya mulai sehat kembali. Walaupun luka ditubuhnya masih basah, gadis itu tidak ingin berlama-lama di Rumah Sakit.
Ia harus bekerja lagi.

"Hujan,"

Hujan cukup deras membasahi kota yang Anna tinggali. Ia menatap ke langit, melihat satu persatu air hujan turun dengan cepat.

Padahal, Anna ingin segera ke rumahnya, berganti pakaian dan bekerja shift malam hari ini. Tetapi hujan turun sebelum Anna meninggalkan Rumah Sakit.

Iryanna berteduh sebentar, berharap hujan cepat segera berhenti. Anna tidak ingin bolos kerja hari ini, walaupun tubuhnya memberikan reaksi yang berbeda.
Sejujurnya, luka-luka yang ia dapatkan pagi ini masih sangat terasa sakit.

Sepuluh menit kemudian hujan mulai mereda.
Anna melangkahkan kakinya, ia berjalan menuju halte bus untuk pulang ke rumahnya terlebih dahulu.

Beruntung sekali, pikir Anna.
Setelah ia tiba dihalte, bus berikutnya langsung tiba.
Anna menaiki bus tersebut, dan bus itu melaju dipusat kota ini.




"Helmi!"

"Lo ngapain di halte tapi ga naik busnya njir?"

Helmi menoleh ke arah Jae, temannya.
"Suka-suka guelah," ucapnya gusar. "Lo juga ngapain tiba-tiba disini?"

Jae mengangkat plastik yang berisi makanan. "Beli makan,"

Helmi mengangguk, merespon ucapan Jae.
Ia masih menatap bus yang dinaiki oleh Anna, walaupun bus tersebut sudah tidak terlihat dari pandangannya.

"Yuklah, makan bareng!" Jae menarik tangan Helmi. Mereka berdua pergi meninggalkan hal bus itu.

Lagi, Helmi mengawasi Anna dari jauh.
Ia takut dengan keadaan Anna, karena menurutnya Anna seharusnya tetap di Rumah sakit malam ini.

"Fii amanillah,"

____

Deon Alijaendra

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Deon Alijaendra.

Two fateWhere stories live. Discover now