05 - Three chances.

7 2 0
                                    

Hi, one vote from you is
very valuable to me, thank u! 𔘓


●●●●


Bruk.

Jane dan Ayahnya menoleh ke arah suara.
Iryana sudah tiba, ia masih berada di dalam mesin pararel itu, dengan tangan yang memegang dada-jantungnya sendiri.

Jane segera membuka pintu mesin itu, lalu menarik Iryana keluar.
"Are you okay?" tanya Jane.

Ira menggeleng, "Sakit." Dadanya masih luar biasa sakit. "Kenapa bisa gini? ada apa?"

Firasatnya berkata, pasti ada kejadian aneh yang menimpanya sehingga ia ditarik paksa untuk kembali ke dunia asalnya.
Serta ada ayahnya Jane disini. Membuat gadi itu tidak bisa berpikir jernih.

"Paradoks di dua dunia bertabrakan," ucap Ayah Jane kemudian. "Sepertinya ada yang mengenali kamu didimensi yang lain." Ujar Ayah Jane.

Tanpa sepatah kata apapun lagi, Ayah Jane meninggalkan mereka berdua. Ira masih kesakitan, sementara Jane bingung harus menjelaskan darimana.

Sumpah demi apapun Jane menyesal mengenalkan mesin ini ke Ira.
Seharusnya ia tidak usah ikut terbawa suasana ketika dulu Ira sangat penasaran dengan dunia pararel.

"I'm too sorry," Jane terduduk, menyamakan posisinya dengan gadis itu.

"Kenapa?" tanya Ira. "Bisa lo jelasin maksud ayah lo tadi? gue agak ngga paham."

Jane menggeleng, ia tidak mau menambah beban pikiran Ira terlebih dahulu.
"Jangan banyak gerak dulu, nanti gue jelasin kalau rasa sakit lo udah mereda."

"Ini udah berapa menit sih? kok sakitnya ga hilang-hilang?"

Fakta yang menyakitkan, tapi Jane harus memberi tahu hal ini.
"10 hours, karena ada satu orang yang mengenali lo sebagai Anna."

Tentu Ira terkejut. Ia merasa sudah memakai masker dan kacamata hitam agar tidak dikenali oleh siapapun.

Masih memegangi jantungnya, Ira tertawa getir. "Jadi ini, risiko yang selalu lo bilang sebelum gue teleport ke dunianya Anna?"

Jane melihat Ira dengan khawatir. Ia takut kalau Ira tidak akan kuat menahan rasa sakit yang rasanya sama seperti serangan jantung tersebut.

"Tunggu sini," Jane berdiri. "Gue tanya ayah gue dulu. Siapa tau dia punya obat penawarnya, biar lo ngga kesakitan selama 10 jam."

Jane bergegas keluar, sementara Ira masih merasakan sakit yang luar biasa ini.

Iryana jadi berpikir, jika hanya satu orang saja manusia yang mengenalinya sebagai Anna, bagaimana jika ia bertemu dengan Iryanna yang sebenarnya?

Tak terbayangkan.
Pasti rasa sakitnya melebihi ini. Putus sudah harapan Ira untuk membantu Anna.
Kali ini, ia tidak sanggup menahan rasa sakit yang tidak kunjung mereda.


"Take this," Lima belas menit berlalu, Jane berlari ke arah Ira. Ia memberikan sebuah cincin perak kepadanya.
Lalu Jane melepas jam tangan yang menghubungkan Iryana dengan dimensi lain itu.

"Sorry," ucap Jane sekali lagi. "Masih sakit?"

"Nggak terlalu," Iryana menjawab. "Ayah lo tahu obat penawarnya, tapi kenapa nggak langsung kasih ke gue?"

Kan, batinnya.
Jane tidak mungkin berkata bahwa Ayahnya sengaja melakukan hal tersebut agar Iryana kapok dan tidak sembarangan lagi menggunakan alat ini.

Tidak mungkin.
Itu akan menyakiti perasaan Ira.

"Ayah gue lupa," bohongnya. "Tadi dia pergi duluan karena lupa naro cincin itu."

Ira tersenyum tipis, ia tidak ingin bertanya lebih jauh. Ira cukup sadar diri dan ia juga merasa bersalah pada Jane dan juga Ayahnya.

"Lo bener, Jane." Ucap Iryana setelah keheningan diantara mereka. "Gue nggak akan pernah bisa buat bantu Anna."

"Gue nggak tahu mau ngomong apa lagi sama lo, Ra." Ucap Jane.

"Its my fault, lo nggak perlu merasa gimana-gimana sama gue, Jane." Ira menimpali.

"Ra, kayaknya lo harus tau sama hal ini," Jane menatapnya. "Karena paradoks lo sama dunianya Anna udah bertabrakan sekali, kata Ayah gue lo cuma punya dua kesempatan lagi."

"Kesempatan?"

"Ya, kesempatan atau peringatan bagi lo. Kalau kejadian ini terulang lagi, dan dibagian ketiganya, antara lo atau Anna yang akan menerima konsekuensinya."

"Okay, i'll remember this one." Ira menarik napas, ia menyerah. "Wajar kalau ayah lo marah banget sama gue tadi. Hampir aja kan gue ngelakuin hal bodoh?" Ira tersenyum tipis. "Makasih Jane, dan maaf buat hari ini."

_____

Dari jauh, Helmi melihat Anna yang sedang dibuntuti oleh seseorang.

Tunggu sebentar, bukannya Anna tadi memakai pakaian serba hitam dan memakai masker diwajahnya?
Helmi bingung, jika didepannya ini adalah Anna, lalu siapa yang tadi ia lihat?

Persetan dengan hal itu, saat ini firasatnya mengatakan, bahwa itu adalah orang suruhan Mia. Karena bagi Helmi, tidak ada manusia lain yang membenci Anna sedalam Mia.


Bugh.

"Aduh!" tubuh Anna terhuyung, seseorang memukulnya memakai benda tumpul dari belakang.

Orang itu pergi setelah melakukan hal tersebut.
Anna terduduk, tangannya memegang kepalanya.

Sakit sekali.

Saat Helmi hendak melangkah, menuju Anna, tangan Helmi ditahan oleh seseorang.
"Watch your step, Helmi. Ini peringatan pertama gue ya." Gadis itu tersenyum miring. "Tiga peringatan dari gue, sebelum lo mengalami nasib yang sama seperti Bella, dulu."

"Bye, pengecut."

Helmi mengepalkan tangannya, ia sangat ingin menampar Mia saat itu juga.
Demi Tuhan, Helmi sangat marah.
Sama halnya seperti Ira, tidak ada yang bisa Helmi lakukan hari ini.
Dan bagian terburuknya adalah, Mia sudah tahu bahwa ia sering menolong Anna dalam diam.
Bagaimana ia bisa menolong Anna lagi setelah hal seperti ini terjadi?

Helmi hanya bisa melihat dari belakang.
Anna masih duduk, ia sepertinya masih kesakitan akibat pukulan tadi.
Sementara Mia, ia memperhatikan Helmi menggunakan kamera canggih miliknya.
Kamera yang bisa menangkap gambar dalam jarak 4 meter sekaligus.

Anna mencoba berdiri, menyeimbangkan tubuhnya. Sepertinya darah rendah yang ia miliki kambuh lagi disaat-saat seperti ini.

Bruk.

Ia terjatuh lagi.
Kali ini, tubuhnya ditendang oleh Mia, dari belakang secara tiba-tiba.

Helmi tidak sanggup melihat kekerasan dihadapannya itu. Ia berjalan pergi, meninggalkan Anna yang masih ada disana.

"Ayo Tuhan, aku rasa hari ini sudah saatnya aku tiba dihadapanmu."
Perlahan, kesadaran Anna mulai menghilang, berganti dengan ketenangan yang sangat indah.


To be continue

Two fateWhere stories live. Discover now