MTTS #8

212 22 3
                                    

Feiza tidak dapat mendeskripsikan perasaannya. Entah terkejut, sedih, kecewa, takut, terluka, atau bahkan perasaan lainnya. Yang jelas perasaan campur aduk itu ia yakini bukanlah perasaan bahagia.

Feiza merasa ingin menghilang saja dari dunia saat ini juga. Ia benar-benar tidak ingin berurusan dengan laki-laki yang kini ada di hadapannya. Hanya berdua.

Ya, hanya ada mereka berdua di ruang tamu berukuran 4 x 6 meter itu. Ayah dan ibu Feiza baru saja pergi beberapa menit yang lalu dengan alasan hendak ke pasar untuk berbelanja. Padahal Feiza rasa, tidak ada kebutuhan rumah atau dapur yang harus ibunya beli hari ini. Semuanya masih mencukupi.

"Feiza," panggil laki-laki itu lembut. "Kamu melamun?" tanyanya penuh perhatian menatap ke arah Feiza.

Feiza mengerjapkan matanya, balas menatap laki-laki yang duduk tepat di depannya hanya berbataskan meja kayu ruang tamu dengan bentangan jarak berkisar satu meteran itu lalu menundukkan kepala.

Feiza tidak tahu apa yang harus dilakukan atau dikatakannya. Ia benar-benar hanya ingin menghilang dari hadapan laki-laki yang sekarang diketahuinya berstatus resmi secara agama sebagai suami sahnya.

"Aku tahu kamu terkejut. Tapi aku janji akan menjadi suami yang baik untukmu dan membahagiakanmu," ucap laki-laki itu halus.

Feiza masih diam dengan kepala tertunduknya. Tiba-tiba saja ia merasakan setetes air mata sudah basah di pipi kirinya.

Kenapa harus dia?

Kenapa harus laki-laki itu yang menjadi suaminya?

Kenapa harus Feiza yang menjadi istrinya?

"Ini." Laki-laki itu mengeluarkan sebuah kotak beludru berwarna merah menyala dari saku celana dan meletakkannya di atas meja. "Cincin pernikahan kita," terangnya yang membuat Feiza tidak lagi sanggup membendung cairan larikmanya.

Dada Feiza terasa sesak.

"Kenapa harus aku, Gus?" Bibir kemerahan Feiza bergetar menyuarakan pertanyaan itu.

Laki-laki yang ditanyai Feiza mengangkat sebelah alisnya. "Apa?" tanyanya.

"Kenapa Gus menikahi saya?" Feiza memperjelas pertanyaannya dan menggunakan kalimat formal kepada laki-laki yang ada di depannya.

Laki-laki yang merupakan anak seorang kiai itu pun mengulas senyumnya. Ia terdiam selama beberapa lama. "Singkatnya, karena saya menyukai kamu," jawabnya ikut-ikutan menggunakan bahasa formal seperti Feiza.

Feiza langsung terkesima.

Tapi, tidak tidak! Ia tidak boleh larut dalam senyuman kelewat manis dan jawaban berisi pengakuan suka laki-laki berwajah rupawan yang ada di depannya.

Bisa saja itu hanya tipu daya setan yang sedang menggoda imannya. Ya, imannya---keyakinan Feiza untuk keukeuh menolak pernikahan ini.

Feiza pun mengesatkan air mata yang ada di wajahnya dengan ujung kain kerudung yang ia kenakan. "Tapi saya nggak mau menerima pernikahan ini," katanya mengangkat kepalanya lagi yang semula masih tertunduk.

Laki-laki itu mengernyitkan dahinya. "Apa alasannya?"

Feiza memutar bola mata mencari alasan yang beberapa waktu ini mengganggunya. "Saya belum siap jadi istri orang." Gadis itu berterus terang. "Saya masih mau menuntaskan pendidikan saya dan membanggakan orang tua saya. Saya mau jadi perempuan mandiri. Banyak hal yang saya impikan dan mau saya kejar. Dan saya rasa, hal-hal itu nggak akan bisa saya capai kalau menjadi seorang istri." Gadis itu membuat jeda.

"Menikah seharusnya belum menjadi porsi dalam hidup saya saat ini, Gus," lanjutnya. "Telebih, saya juga terancam nggak akan bisa lanjut kuliah karena akan kehilangan beasiswa akibat pernikahan ini dan berakhir langsung jadi ibu-ibu rumah tangga, yang saya sendiri, sama sekali nggak siap melakukannya." Panjang kali lebar Feiza berhasil mengutarakan keresahannya.

Menikah Tapi Tak Serumah ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang