MTTS #1

422 24 0
                                    

Cerita ini hanya fiksi. Kalau ada kesamaan nama tokoh, karakter, tempat kejadian, semata hanya kebetulan.

.
.

"Kamu sudah menikah, Feiza."

Rasanya seperti mendengar sambaran petir saat cuaca di luar kelewat cerah dan matahari sedang bersinar terik-teriknya.

Oh, yang benar saja! Dia, menikah?

Kapan? Di mana? Dengan siapa?

Feiza percaya apa yang barusan dikatakan ibunya, perempuan yang telah mengandung dan melahirkannya itu pasti sebuah lelucon. Ibunya ini pasti sedang bercanda.

"Bu, Ibu tidak serius, kan? Kapan Feiza menikah? Feiza kan sibuk kuliah di kota lain. Pulang ke rumah pun hanya bisa sekali-dua kali dalam sebulan. Lalu bagaimana Feiza menikah? Aku bahkan nggak tahu apa-apa," ucap Feiza.

"Kamu sudah dinikahkan Ayahmu sebulan yang lalu, Nduk. Nikah agama," jelas ibunya.

"Hah?" Feiza langsung terperangah mendengarnya. "Ta-tapi, bagaimana bisa, Bu? Kuliah Fe gimana?"

Sang ibu terlihat menghela napasnya. "Kamu tetap bisa kuliah, Nduk. Kami mengambil keputusan ini bukannya tanpa pertimbangan," jelasnya lagi.

"Bukan tanpa pertimbangan? Lalu kenapa Feiza tidak Ayah dan Ibu libatkan? Yang menikah aku, Bu!" Feiza berusaha menahan tangis. "Kenapa kalian begitu tega? Ayah punya hutang sampai aku harus dipaksa menikah seperti ini?"

"Bukan begitu, Nduk. Jaga bicara kamu," balas sang ibu. "Pernikahan ini adalah yang terbaik buat kamu. Kamu pernah bilang akan bersedia, kan, kalau Ayah dan Ibu jodohkan? Nah, pernikahan ini semacam itu."

"Tapi, Buu," balas Feiza. "Iya, Feiza mau. Tapi saat Fe merasa tidak bisa mencari dan memilih pasangan sendiri. Bukan dijodohkan yang begini!" Gadis itu hampir terisak.

"Nduk. Ayah dan Ibu hanya menginginkan yang terbaik untukmu. Percayalah, semua ini yang terbaik untuk kamu."

Feiza menggelengkan kepala mendengar penuturan ibunya. "Aku nggak mau dipaksa seperti ini! Aku nggak mau menikah, Bu. Apalagi dengan orang yang nggak Fe kenal." Gadis itu menatap nanar.

"Dengar, suamimu adalah laki-laki yang sangat baik, Nduk. Kamu beruntung dan akan sangat bahagia bersamanya."

"Gimana bisa Fe bahagia kalau dipaksa begini, Bu?!" sergah Feiza. "Aku nggak mau! Aku nggak mau menerima pernikahan ini!"

Gadis itu kini telah kehilangan pertahanannya dengan air mata yang sudah membasah di kedua belah pipinya.

"Ayah dan Ibu begitu tega sama Feiza. Kalian jahat!" Feiza mulai terisak.

Ia bangkit dari duduknya di sofa ruang tamu dan berlari masuk ke dalam kamarnya. Melemparkan diri ke atas tempat tidur lantas menenggelamkan wajahnya yang sudah banjir air mata pada bantal. Dadanya terasa begitu sakit dan sesak sekarang.

Umurnya baru akan menginjak 20 tahun pada tahun ini. Ia masih kuliah dan ingin menikmati masa mudanya dengan aktif di berbagai kegiatan mahasiswa dan mencari pengalaman-pengalaman lainnya. Kenapa Ayah dan Ibunya malah menikahkannya?

Ya, katakanlah memang hanya menikahkan secara agama. Orang tuanya memang bisa melakukan hal itu tanpa sepengetahuan ataupun persetujuannya. Ia pun bisa berkelit dari pernikahan itu karena belum tercatat di negara, dengan kabur ataupun melarikan diri misalnya. Namun, untuk Feiza yang sedikit-banyak paham akan ilmu agama, gadis itu tahu pernikahannya tetaplah sah walaupun ia tidak menginginkannya. Meski Feiza tidak terima, ia tetap dihukumi sebagai istri bagi laki-laki yang telah menikahinya.

Feiza semakin menenggelamkan wajahnya pada bantal menangisi nasibnya. Padahal, salah satu niat kepulangannya kali ini adalah hendak meminta izin dan restu. Feiza akan mencalonkan diri sebagai ketua himpunan mahasiswa di jurusannya atas dukungan beberapa dosen, teman, dan para seniornya. Tapi kalau sudah begini, kepada siapa ia bisa meminta izin dan restu?

Laki-laki yang telah menjadi suaminya itu? Feiza bahkan tidak tahu siapa dan tidak mengenalnya. Bagaimana kalau laki-laki itu malah menolak keinginannya? Feiza bahkan tidak bisa menerima pernikahan mereka. Bagaimana ia akan hidup selanjutnya?

Feiza tidak percaya kedua orang tuanya yang selama ini memberinya banyak kebebasan dalam memilih pilihan hidup dan kebahagiannya sendiri berakhir membuatnya terjebak seperti ini. Feiza berharap semua ini hanyalah mimpi.

"Nduk ...." Suara halus ibunya tiba-tiba menyapa gendang telinga Feiza.

Tak lama, Feiza bisa merasakan usapan lembut tangan sang ibu di puncak kepala dan bahu kecilnya. Ia semakin menangis menjadi karenanya.

"Jangan bersedih gini, to, Nduk," pinta ibunya. "Tunggu Ayahmu pulang, ya! Nanti kita bicara lagi."

Tangis Feiza yang sudah semakin menjadi tidak juga berhenti.

"Ayah dan Ibu sangat mencintaimu, Feiza. Kamu putri kami satu-satunya. Mana mungkin kami mau anak kami hidup menderita, hm? Kami tidak tahu kalau kamu akan seterpukul ini mendengar berita pernikahanmu. Kami hanya ingin kebahagiaanmu."

Hati Feiza serasa tercubit mendegar itu.

"Kalau Ayah dan Ibu ingin Feiza bahagia. Kalian seharusnya tidak melakukan semua ini kepada Feiza!" Gadis itu berteriak meraung-raung di dalam hatinya. Tanpa menyuarakannya.

"Sekarang tidak apa menangislah sepuasnya, Nduk. Tenangkan hatimu. Ayah akan menjelaskan semuanya nanti padamu."

Feiza merasakan ibunya yang masih membelai sayang puncak kepalnya.

"Kalau perlu, nanti segera kita temui juga suamimu. Cepat atau lambat kamu pasti akan bisa menerima pernikahan kalian. Dia mengenalmu, Feiza. Kamu mungkin juga mengenalnya. Kalian kuliah di tempat yang sama."

Deg!

Jantung Feiza langsung berpacu cepat mendengarnya.

Kamu mungkin mengenalnya dan kalian kuliah di tempat yang sama?

Feiza tidak ingin percaya apa yang dikatakan ibunya semenjak kepulangannya. Namun, mendengar penuturan terakhir ibunya tak elak membuat Feiza merasa penasaran juga.

Jadi, siapa suaminya? Apa benar Feiza sungguh mengenal laki-laki yang dengan kurang ajar sudah menikahinya tanpa sepengetahuan dan izinnya itu? Siapa dia? Apa sebenarnya maunya?

Tbc.

Menikah Tapi Tak Serumah ✔️Where stories live. Discover now