”Dit! Di kamar mulu, makan seblak yuk!”
Ladit berdecak kecil, padahal sudah jelas-jelas ia tengah bermain boneka bersama anak, melantai di depan TV. Irene belum pulang dan menemani Monica bermain sudah jelas menjadi tanggung jawabnya. Mendengar suara Ransi, yang tak lain adalah om-nya sendiri, Monica menjulurkan lidah, tidak mengizinkan Papa-nya keluar dari kamar hanya untuk beralih bermain bersamanya.
Ransi membalasnya dengan juluran lidah kemudian keluar.
”Lagi musuhan ya sama om Ranran?”
Monica menganggukkan kepala, ”abis om gak bolehin aku makan es krim, padahal aku ingin banget Papa, es krim kan enak tau.”
”Kapan sayang?” Ladit mengusap rambut Monica lembut.
”Tadi di sekolah.”
”Emang sayangnya Papa lupa kalo abis sakit?”
”Sebenarnya ingat, tapi aku benar-benar ingin makan es krim.”
”Emang mau sakit lagi?”
”Tidak sih,” jawab Monica.
”Yasudah jangan makan dulu es krim ya, om Ranran larang kamu karena Papa yang nyuruh. Kalau Monmon makan es krim terus sakit lagi, kan Papa sedih, Mama juga sedih.”
”Benar begitu?”
Ladit menganggukkan kepalanya, ”kalo udah sembuh, baru boleh.”
Monica mengayunkan boneka Barbie yang tengah ia pegang, wajahnya cemberut kembali mengingat saat di jemput Ransi tadi pria itu tidak membolehkannya makan es krim. Hingga Loka masuk ke kamar, menghampiri Monica dan duduk di antara Ladit dan gadis kecil berpipi bulat itu. Loka memang memiliki umur lebih kecil dari Monica tapi benih dari Ransi itu mampu bersikap dewasa dengan mengusap kedua pipi Monica membuat perasaan Ladit menghangat. Pria itu tersenyum kemudian keluar setelah Loka bisa menemani Monica yang bersedih karena tak bisa memakan es krim atas mandat dari Irene yang mewanti-wanti agar Monica tidak memakan es krim mencegah anaknya agar tidak sakit lagi.
”Masih ngambek si Monmon? Kasian dah!”
”Udah nggak.”
”Punya anak mesti sabar ya bu, Loka juga sama.”
”… Senang gak sih? Bangga aja gitu gue jadi orang tua.” ujar Ransi lagi.
”Sama, gue juga.”
Ladit mengangkat kedua bahu, entahlah ia juga sama, semenjak Irene melahirkan Monica ke dunia, ia merasa tanggung jawabnya semakin besar. Jika dulu ia hanya memikirkan anak buah di bengkel, lain dengan sekarang, adanya Monica, tanggungjawab semakin besar dan tentu saja kebahagiaan terus melekat di keluarga kecilnya. Ransi mendorong pelan semangkok bakso pesanan Ladit, pria itu masih tidak suka seblak sebagaimana Ransi menjadikan makanan itu sebagai kudapan paling favoritnya.
”Anak lo lebih dewasa, Ran.”
”Hooh, mirip Elok.”
”Monica mirip gue, pas nyadar dia gue banget tuh, pas dia lempar sepatu ke temannya gara-gara di ledekin kerudungnya miring.”
Ransi tertawa, ”senggol bacok kayak lu.”
Ladit mengiyakan dengan menganggukkan kepalanya singkat.
”Kalo lo, Ran?”
Menyuapkan sesendok seblak ke dalam mulut, Ransi berusaha mengingat-ingat perilaku Loka yang cuek dan jarang berekspresi.
”Apa ya, dia Elok banget sih.”
”Si Elok cinta mati sama lo makanya Loka, istri lo banget.”
”Ya sama kayak lo, Dit. Si Monica mirip banget sama lo karena lo nya cinta mati banget sama kak Irene, padahal dia gak cantik-cantik amat loh. Cakepan juga mantan lo yang anak Psikologi.”
YOU ARE READING
Ladit Panji Susena
Short StoryTersedia versi ebook di Google play. Link? Cek bio! Ladit Panji Susena. Anak tanpa ibu, pria berdarah Sunda, lahir di tanah Dewata dan sekarang berdomisili di Jakarta. Terdengar rumit, ya seperti itu hidupnya. Menjadi buah bibir, sudah biasa. Seguda...
