20 : TIDAK MENGINGAT

2.4K 194 22
                                    

Part ini dikit, jadi pelan-pelan aja bacanya. Oke?

•••


”Punya nyawa sembilan yang nyerang lo, Bos.”

”Bacot mulu! Buruan beresin,” ujar Ladit.

Jenin tertawa ringan dan membantu Ladit mengganti perban di perutnya, niat ketiganya datang ke Jakarta selain menyambangi kediaman Ladit adalah pergi ke Dufan, Monas, dan taman Banteng serta berkeliling ibu kota. Petualangan akan mereka mulai pagi ini sebelum kembali ke Bali, namun mendengar Ladit di tusuk seseorang menggunakan senjata tajam membuat ketiganya kesal sekaligus penasaran.

”Emang Bram itu siapa?” tanya Sadewa.

Pria itu menguncir rambut panjangnya dengan karet, melirik Panji yang masih tertidur sebelum ikut memusatkan perhatiannya pada luka di perut Ladit, ”mantan Irene.”

Jegal menjentikkan jemari, ”oalah, masalah asmara.”

”Lo khawatir nona Irene balik lagi ke mantannya ya?”

Ladit melirik Jenin, menatap malas temannya.

”Padahal ngapain khawatir, kan udah di miliki sepenuhnya.”

Ketiganya saling tatap, kekehan pelan menggoda Ladit membuat pria itu mengerutkan kening terheran.

”Maksud lo pada?”

Pertanyaan itu membuat tawa mereka terhenti, Sadewa merapikan rambutnya lagi dan menatap wajah Ladit.

”Lo sama Irene bukannya udah ehem-ehem?”

Jegal mengangguk mengiyakan ketika Ladit meliriknya.

”Masa gak inget?” Sadewa menepuk bahu Ladit.

”Pura-pura nih, bos!” Jenin tertawa.

”Gue gak inget apa-apa, gue tidur sama lo ’kan, Gal?”

Ketiganya kompak menggelengkan kepala, ”lah?”

”Mabok bener sampe gak inget apa-apa,” ujar Jenin.

Ketiganya tertawa lagi membuat Ladit di landa rasa bingung. Seingatnya, ia tidur bersama Jegal dan membiarkan Irene tidur sendirian di kamarnya. Ladit melirik Panji yang masih tertidur, ia tidak akan membiarkan Ayahnya itu mendengar percakapan yang belum tentu benar sebelum ia bertemu dengan Irene membicarakan perihal ini.

Sadewa, Jegal, dan Jenin berpamitan keluar dari rumah, meninggalkan Ladit bersama Panji untuk menyelesaikan masalah mereka berdua setelah memastikan jika keadaan mantan ketua baik-baik saja. Sadewa melirik Jegal dan Jenin sebelum masuk ke dalam taksi yang ia pesan secara online.

”Yadiastun ipun sareng kalih pada saling cium ring arep kamar.”

”Tiang taler manggihin.”

Jenin hanya menyimak antara Sadewa dan Jegal sebelum ketiganya memutuskan masuk. Sementara Ladit terdiam sendiri, mencoba mengingat-ingat, apakah benar ia dan Irene sudah sejauh itu di saat ia jelas mengingat jika Irene menolaknya. Apa ia sudah memperkosa Irene?

Apa setelah malam bernyanyi-nyanyi di tepi pantai?

Di tengah kepalanya yang berkecamuk, Panji bergerak bangun, matanya menyipit menemukan anaknya melamun.

Ladit yang menyadari sang Ayah terbangun, menatapnya sekilas.

”Gak ikut ke Dufan?” tanya Panji kemudian duduk. Ladit menggelengkan kepala, wajahnya datar membuat Panji sedikit heran kemudian beranjak berdiri.

”Maafin gue, Dad.”

What for?

Ladit mengikuti langkah Panji ke dapur, ”Semalem.”

Panji tertawa ringan, ”gue juga minta maaf, karena egois.”

No, lo gak egois! Gue yang egois, menyalahkan keadaan. Padahal gue tau, semua yang lo lakuin buat gue juga.”

”Itu lo paham,” ujar Panji dan Ladit berdecak kecil.

”Tapi keputusan gue gak bakal berubah, Dad.”

Panji meneguk air putih dan meletakan gelasnya di meja.

I'm too afraid of losing you if you're married.”

”Dad ...,”

”Kejar Irene, gue sangat setuju.”

Dan detik selanjutnya Ladit tersenyum riang, menghampiri Panji dan memeluk tubuh sang Ayah, menggoyangkan tubuh keduanya kesana-kemari membuat Panji menggeram kesal.

Hingga suasana di rumah itu terhenti ketika ponsel yang berada di saku celana terus berdering membuat Ladit mengangkatnya, telepon beberapa kali Irene membuatnya kembali teringat ucapan ketiga teman-temannya beberapa menit lalu.

”Siapa?” tanya Panji.

”Irene.”

Kemudian Ladit menjauh untuk menjawab telepon.

”Iya, Anye.”

Hallo, Ladit.”

Ladit melihat layar ponselnya, mungkin ia keliru tapi nomor itu benar milik Irene, tapi mengapa yang bicara di seberang sana terdengar seperti laki-laki dewasa.

”Siapa ya?”

Gue Bayu, temen kerja Irene.”

”Hape dia kenapa—”

Dari arah belakang, Panji berjalan ke arah anaknya dengan ponsel di tangan, ia sedikit terkejut melihat berita tentang gedung perkantoran dimana kantor TV dimana Irene bekerja di sabotase sekumpulan pria-pria tidak dikenal.

Panji memperlihatkan apa yang terjadi pada Ladit.

”Ngerasa punya saingan?” tanya Panji.

Ladit menggelengkan kepala, ”saingan apaan?”

”Kayaknya mereka anak buah pak Wijaya.”

”Bokapnya Bram?”

Panji menganggukkan kepala membuat Ladit meremas rambut. Jika memang balas dendam, mengapa tak ia lakukan langsung padanya dan justru mencelakai banyak orang yang tidak tau apa-apa. Bram sialan!

••••

Gimana?

Ladit Panji SusenaKde žijí příběhy. Začni objevovat