23 : YOU'RE PREGNANT, YOU KNOW?

3.5K 230 17
                                    

Dengan self contained breathing apparatus yang di berikan salah satu petugas pemadam kebakaran, Ladit menetralkan nafasnya yang terasa engap, dadanya panas, dan mata yang terasa perih. Ia melirik sekitar, hingga menemukan ketiga temannya datang menghampiri, sementara Irene sudah lebih dulu di bawa ke rumah sakit.

Riuh rendah suara sirine polisi dan mobil pemadam kebakaran yang terus di kerahkan membuat situasi tidak terkondisi. Ladit hanya bisa berharap jika di dalam sana, tidak ada korban jiwa satu pun akibat kemarahan Bram yang nekat menyabotase gedung dan membakarnya.

”Sakit napi niki?”

Ladit menggelengkan kepala ketika Sadewa bertanya.

”Nenten, Ladit wantah lanang,” ujar Jegal.

”Napi wenten narka, Dit?”

Ladit menganggukkan kepala sebagai jawaban.

”Punapike wenten anak sane mamanah ngamademang tiang?”

Jenin menyugar rambut, ia bersiap jika Ladit mengiyakan.

”Belog-belog ngutang galahe!”

Ladit melepaskan alat pernafasan itu kemudian berdiri. Ia tidak ingin membiarkan Irene sendirian di rumah sakit.

” ... Biar polisi aja.” lanjut Ladit.

”Oke deh,” ujar Jenin.

”Terus sekarang?” tanya Sadewa.

”Rumah sakit, lo pada pulang aja ke rumah.”

Ketiganya saling tatap, mereka tidak mungkin meninggalkan Ladit dalam keadaan seperti ini, maka ketiganya lebih dulu mengambil alih kunci mobil yang di pegang mantan ketuanya itu dan ikut ke rumah sakit. Tanpa sadar, Ladit tersenyum tanpa peduli dengan luka bakar di pipi bagian atas sebelah kiri.

”Jakarta macet! Panas juga. Kok betah?” ujar Jegal.

Ladit tidak membalas, kedua tangannya bertaut di atas paha.

”Denpasar juga panas,” ujar Sadewa.

”Panas karena liat dia sama yang lain ’kan, Wa?”

Sadewa hanya mendelikkan mata, mengundang tawa antara Jegal dan Jenin. Ketiganya bertatapan kembali, sekilas kompak melirik Ladit yang sama sekali tidak tergubris karena mereka yang berisik. Hingga mobil yang Jenin kendarai berhenti di rumah sakit membuat Ladit bergegas turun, tanpa memperdulikan ketiga temannya yang menggelengkan kepala melihat Ladit cemas.

”Pasien atas nama Irene Anye, korban kebakaran.”

”Maaf, anda?”

”Suaminya.”

Ladit mengetukkan telunjuk di meja ketika salah satu dokter membawanya ke ruangan dimana Irene sudah di pindahkan, menjelaskan beberapa pernyataan yang jelas saja membuat Ladit terguncang. Dokter itu menepuk bahu Ladit beberapa kali, seolah ia sangat mengenal keduanya.

Kening Ladit mengerut, sekilas ia mengingat jika dokter di depannya adalah dokter yang sama ketika menanganinya saat perutnya di tusuk pisau oleh Bram. Ladit menatap wajah Irene, menelisik sampai tatapannya berhenti di perut. Ia bingung, di landa resah, ia tidak tau harus bersikap sebagaimana mestinya. Jika memang benar ia yang pertama untuk Irene, sepatutnya ia merasa sedih karena telah kehilangan janin yang bersemayam di perut gadisnya.

Ladit mendekat ketika kelopak mata Irene bergerak.

”Hei, gue disini,” ujar Ladit menggenggam tangannya.

Irene tak menyahut, gadis itu justru terbatuk-batuk membuat Ladit sigap membantu ketika Irene hendak duduk.

”Dit, pipi lo.”

Ladit meraba sebelah pipinya, ia tersenyum mengisyaratkan jika luka kecil di pipinya sama sekali tidak sakit. Irene memegang kepalanya, potongan memori sebelum ia tersadar berbaring di brankar rumah sakit dan ketika mengingat jika Bram penyebab segalanya dan Ladit adalah penolongnya.

”Udah lebih baik?” tanya Ladit lagi.

Irene mengangguk, mengusap sebelah pipi Ladit. Air matanya sontak turun membuat Ladit menarik pelan kepala Irene dan memeluknya penuh kehati-hatian.

”Perut gue sakit banget, Dit. Keram.”

Ladit mengusap rambut Irene sekilas, menatapnya dalam.

You're pregnant, you know?

Mendengar pertanyaan itu Irene menggelengkan kepala. Ladit yakin sekali jika saat di Bali mereka tak melakukan sejauh itu. Maka untuk mendapat jawaban Ladit mesti bertanya pada perempuan di depannya ini.

”Bram?” tanya Ladit lagi.

Irene menganggukkan kepala sebagai jawaban.

”Kapan?”

Ladit menangkup kedua pipi Irene, menyuruh agar gadis di depannya ini menatapnya tanpa merasa takut. Ladit hanya ingin tau, ia tidak bisa diam saja ketika mengetahui Irene di paksa untuk berhubungan. Ladit percaya, Irene tidak semurahan itu membiarkan pria menjamahnya tanpa ikatan pernikahan.

”Pas kamu ke Pandeglang.”

”Astaga!”

Ladit meremas rambutnya, ia berdecak marah.

”Maaf,” cicit Irene pelan.

Ladit menggelengkan kepala, ia tidak ingin mendengar kata maaf dari Irene. Jelas ini bukan salahnya. Harusnya, Irene ikut dengannya ketika menghabiskan beberapa hari di kampung halaman sang Ayah, harusnya Irene tidak masuk kantor dan bertemu dengan Bram saat itu.

”Gue kesel, gue marah karena lo gak bilang, Nye.”

”Dit?”

”Jangan larang gue buat gak laporin Bram ke polisi.”

” ... Kalo perlu gue bunuh tuh orang!”

Untuk pertama kali, Irene melihat Ladit seperti ini. Dadanya kembang kempis dengan amarah bergejolak, kilatan merah di matanya membuat Irene tidak berani menatap pria yang lebih muda darinya itu. Hingga melihat Ladit merogoh ponsel, Irene tidak berani melarang ataupun bertanya.

”Kita nikah!”

”Dit?”

”Biarin gue tanggung jawab.”

” ... Walaupun lo udah keguguran.”

•••

Agak-agak ragu mau updatenya ya.

Kurang greget.

Maaf ya, kemaleman.

Oh ya? Butuh translate bahasa Balinya gak?😶

Ladit Panji SusenaWhere stories live. Discover now