Episode 5: Luka Aro

5 0 0
                                    

"ARGH! TUHAN!"

Remaja lelaki dengan memar di wajahnya itu memukul jok sepeda motor Kawasaki Ninja 250-nya itu, lalu menangis sejadi-jadinya.

"Tuhan, harus dengan cara apalagi?" Aro, remaja itu masih setia menangis tanpa henti. Ia tak pernah se-cengeng itu sebelumnya, dan tak pernah menunjukkan air matanya pada siapapun.

Ia benar-benar muak.

Malam itu, Aro mengebut ke arah daerah tebing yang menjadi perbatasan antara laut dan daratan. Itu salah satu tempat yang bagus untuk menyegarkan pikirannya, selain balkon rumahnya, karena sang ibu ada di rumah malam itu.

"Hai..."

Aro mengangkat pandangannya ke arah sang sumber suara yang berbicara dengannya.

Astaga, ia tak boleh menunjukkan air matanya pada manusia itu. "Lo..."

Emir terkekeh. "Lo... juga sering kesini?" ia membuka topik pembicaraan.

Tak ada jawaban. Aro terlihat mengacuhkannya.

"Gua juga sering, lho." Emir tertawa enteng, sama sekali tak merasa bersalah. Apalagi setelah melihat Beruang Kutub itu menangis.

Aro memandangi Emir yang sedang menikmati semilir angin sepoi-sepoi. "Lo ngapain malem-malem gini?" tanya Aro, merasa heran.

"Lo sendiri?" Emir melotot.

"Gak ada urusan sama lo."

"Terus ngapain lo nanyain gue!?" balas Emir tak mau kalah.

Hening sejenak.

Emir memandangi Aro yang berdiri di sebelahnya. Mereka sedang menikmati pemandangan laut yang indah, dan debur ombak yang berbunyi.

"Kalo gue, emang sering kesini karena di sini enak. Sepi, jadi bisa melepas stres." ujar Emir tiba-tiba.

Aro menekuk alis. "Ada yang nanya?"

"Ya, gua cuman mau cerita aja kali!" Emir memutar bola matanya malas. "Tadi lo juga nanya ngapain gue kesini!"

"Sok akrab lo sama gue. Ketemu aja baru tadi sore."

"Bukan sok akrab, tapi proses mengakrabkan diri." Emir menaik turunkan alisnya. "Lo... nangis tadi?"

Aro menggeleng cepat. "Terus apa emang kalo bukan nangis?" Emir mengerutkan dahi.

"Keluar air mata." jawab Aro dengan cepat.

"Heh! Ngelawak lo, Beruang Kutub?" Emir menyikut manusia dingin itu. "Lo emang napa? Kok nangis?"

"Kepo."

"Iya, keberatan?"

Aro menundukkan kepalanya dalam-dalam, menikmati rasa sakit di hatinya. "Gue..."

"Gue cuman..."

Emir benar-benar ingin membunuh Aro sekarang juga, menunggu jawaban dari manusia itu sangatlah sulit dan membutuhkan waktu yang lama sekali. Memang benar kata orang-orang, jangan-jangan beruang kutub itu tak bisa merangkai kalimat.

Tiba-tiba, Aro mendelikkan matanya pada Emir. "Ada urusan apa sama lo?" ia memutar bola matanya malas.

Sialan lo, batin Emir. 

Aro akhirnya naik ke motornya tanpa menoleh maupun mengatakan apapun pada Emir yang berdiri di dekat.

"Woi! Gak setia kawan lo! Lo mau ninggalin gue sendiri!?" teriak Emir tanpa aba-aba.

"Lo mati pun bukan masalah gue." Aro memutar bola matanya malas. "Lagian, emang lo kawan gue?"

Kalimat dari Aro itu membuat Emir terdiam sejenak.

"Ya, udah, sih. Bye bye." Emir menekuk bibir, ia melirik sekilas pada remaja itu dengan harapan akan mengajaknya bicara lagi.

Aro yang tahu maksud Emir lantas mengangkat sebelah alis. "Lo naik apa kesini?" tanyanya.

"CIE! PEDULI!" seru Emir cengengesan.

"Persetan."

"Gue punya sayap keabadian, jadi gue terbang dari surga."

"Heleh, paling penghuni neraka minta cuti dari siksaan."

Emir terkekeh. "Gue naik motor kesini."

"Anak sultan kok di bebasin, gimana mau nerusin bisnis bokap lo?"

Wow. Aro berbicara dengan kata-kata yang terlalu banyak, dan tidak penting pastinya.

"Bisnis bokap? Dia gak pernah bilang gitu ke gue..." Emir menggaruk kepalanya. "Lagian, dia aja gak pernah lagi ngomong apa-apa ke gue."

Shit. Aro menggigit bibir, merasa bersalah, sekaligus penasaran pada makhluk polos itu. Wajah Emir memang berseri-seri, tapi dari senyuman itu terlihat jelas segores luka yang dalam.

"Pulang."

Emir terbelalak. Aro peduli?

"Gak usah kepedean lo. Pulang sana." usir Aro, atau peduli?

"Siap, Kapten."

Emir menurut tanpa di suruh dua kali. Ia sejujurnya merasa takut dan canggung berlama-lama dengan manusia sedingin kulkas itu.

Remaja berkaus hitam pendek itu langsung berlari meninggalkan Aro seorang diri. Ia berlari ke arah sebuah minimarket terdekat, tempatnya memarkir motor.

Setelah punggung remaja itu tak lagi terlihat, Aro menghembuskan napas lega.

"Kok orang-orang bisa menyembunyikan luka mereka seprofesional itu, ya?" gumam Aro sambil mengulas senyum tipis nan menyakitkan.

***

Motor Yamaha R-11 berwarna merah itu terparkir rapi di dalam garasi sebuah rumah yang hanya di huni oleh seorang wanita dan putranya. Tapi semua tetangga tahu bahwa hubungan wanita dan putranya itu tak dekat, dan mereka jarang bertegur sapa.

Aro mencabut kunci motornya, lalu melangkah perlahan ke arah pintu rumah yang terlihat tidak terkunci.

Pandangannya terkunci pada sepasang sepatu merah milik ibunya yang tergeletak di depan pintu. Sepertinya Amanda lupa memasukkannya.

Remaja berkacamata itu memungut sepatu itu, lalu membuka pintu rumahnya dengan perlahan agar tak membangunkan sang ibu.

Ya, mana mungkin Aro bilang pada Emir, apalagi ia tahu manusia polos itu tidak akan membantu apapun. Aro merasa bahwa dirinya cengeng betul, menangis hanya karena nasi goreng yang ia masak untuk ulang tahun ibunya sore itu tidak di hargai.

"Ma? Ini Aro, baru pulang sekolah. Aro masak nasi goreng buat Mama, kan Mama ulang tahun, dan ini bentuk terimakasih Aro untuk Mama yang udah kerja setiap hari." ujar Aro dalam sambungan telepon dengan sang ibu, Amanda.

"Gak usah nelpon-nelpon kalo gak ada kepentingan."

Respon singkat menyakitkan itu benar-benar nyaris membunuh Aro. Tega sekali wanita itu.

"Harus gimana lagi, ya, Tuhan? Biar saya di anggap oleh dia." gumam Aro lagi dan lagi. 

***

Tolong vote, komen, dan share, ya. Kalau kamu follow, nanti aku follback.

Byebye.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Apr 22 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

WINNER CLAN [Perang Dingin Telah di Mulai] = REVISIWhere stories live. Discover now