Rindu untuk Ibunda

19 7 0
                                    

"Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif. Silakan tekan satu, tiga atau lima untuk meninggalkan pesan suara."

Emirsyah Baskara Cakrawala menghela napas dengan kasar. Sudah berkali-kali ia mencoba untuk melakukan panggilan suara oleh nomor yang sama, tapi selalu tak ada jawaban.

Remaja itu akhirnya memilih untuk meninggalkan pesan suara melalui cara yang di berikan oleh sang operator lagi. "Ma? Ini Emir. Mama     apa kabar? Udah sepuluh tahun Mama nggak nelpon Emir,"

"Mama sehat, kan? Masih sibuk, ya? Kok, Mama pas pergi gak pamit?" Emir menggigit bibir, ia mulai mengeluarkan semua kata-kata untuk  sang ibunda tercinta yang menghilang.

Tiba-tiba, Emir terkekeh ringan khas-nya. "Mama gak jawab-jawab, jangan-jangan ganti nomor, ya? Malu banget Emir kalo nelpon tiap hari tapi rupanya emang ganti nomor." Ia tertawa. Tawa hambar.

"Udah, ya, Ma. Ini Emir baru pulang sekolah, lho. Dadah, jaga kesehatan, ya, Ma."

Hening.

Kamar yang luas itu menjadi hening begitu Emir menutup pesan suaranya.  

Namun, keheningan itu langsung pecah ketika Emir akhirnya meledakkan tangis yang ia berusaha tutupi. "Mama kenapa berangkat, gak, pamit dulu? Mama kabur?" Emir memukul bantal-bantal yang ada di ranjangnya untuk melampiaskan perasaannya, dan berusaha untuk tidak gaduh. "Kenapa Mama nggak pernah nelpon Emir? Mama udah gak sayang sama Emir?"

Sia-sia sudah.

Lupakan saja. Mengerti?

Itu takkan memutar balikkan kenyataan, kecuali jika Tuhan mengizinkan.

"Tuhan, titip rindu untuk mereka..."

***

"DADAH KENANGAN! HALO HAMPA...!"

Teriakan menyakitkan yang sebenarnya hanya sebatas keisengan yang tercampur aduk dengan kesedihan itu terdengar nyaring dari daerah tebing yang menjadi perbatasan antara daratan dan lautan.

Remaja itu berteriak-teriak seperti orang gila. Awalnya dirinya hanya ingin menyegarkan pikiran dengan mencari udara segar, tapi ia takkan bisa memendam perasaan ini seorang diri. Ia butuh teman untuk bercerita.

Tiba-tiba, sebuah ide cemerlang terlintas di otak kerdil Emir. Ia bergegas mengeluarkan ponselnya dari saku celana dan menyalakannya.

You: Kir-kir, lagi ngapain??
/send/

Tak sampai beberapa detik, muncul balasan dari sang bidadari hidupnya.

Calon Bini: Kepo

You: Aih, masa Ayang gamau ngasih tau Abang??
/send/

Calon Bini: Gak ada untungnya

You: Ga kangen tah lo, Kir??
/send/

Calon Bini: Baru ketemu tadi pagi, goblok

You: Astagfirullah, Kir, gaboleh ngomong kasar. Nanti Abang yg nanggung dosa lho
/send/

Calon Bini: Gapapa, asal bukan suami gua. Pulang ga lo, besok sekolah

You: Oiya, lupa Abang kalo masih sekolah, kebelet nikah, si. Makasih, Kir udah ngingetin. Makin ga sabar gua nikah sama lo. Bye bye, cantik!!
/send/

Calon Bini: Tidur, gak usah bangun lagi selamanya

Kirana-lah yang selalu menjadi obat rindu untuk pikiran Emir selama kepergian sang ibu ke luar negeri selama sepuluh tahun tanpa kabar, dan sosok ayah yang berubah dan menghilang di sisinya.

Emir itu hanya salah satu dari para manusia munafik. Hanya salah satunya.

***

Halo, kalo kmu semua ngasih vote, nanti aku tambah semangat.

Byebye

❤❤❤



WINNER CLAN [Perang Dingin Telah di Mulai] = REVISIWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu