13 - RAFAEL

12 8 0
                                    

Happy Reading!

. . .
. .
.

⁺୭̥⌠⌬﹞Chapter thirteen: The plan ◌. °

ㅤㅤ
ㅤㅤ

Suara ketukan yang berasal dari pintu kantor menarik perhatianku. Menghentikan karyawanku yang tengah mengajukan proposal kerjanya, aku menoleh ke arah pintu dan menemukan Nora, sekretarisku, berjalan memasuki ruangan dengan wajah cemas.

"Ada apa, Mrs. Goldwyn?" tanyaku.

"Mr. Davis," Nora menyapa sopan. "Ayah Anda datang dan sedang menunggu di depan. Beliau meminta untuk bertemu Anda."

Terkejut dengan kunjungan tak diduga itu, aku menyuruh karyawanku untuk menunda presentasinya dan menyuruh Nora agar ayahku dipersilakan masuk. Punggungku terasa kaku ketika ayah melangkah memasuki kantorku, aura yang menguar darinya tak terasa bersahabat. Apa pun tujuan Dad kemari, pastilah bukan untuk beramah-tamah.

Aku bangkit dari kursi kerjaku dan menghampirinya. "Dad," sapaku. "Kukira kau bilang akan datang lusa?"

Dad menghempaskan bokong di sofa yang tersedia di ruangan. Dia melepas kancing jasnya kemudian menyandarkan punggung. "Dad melihat video Lily beredar luas di internet. Kau pikir aku akan diam saja setelah melihat berita itu? Komentar-komentar mencela itu... mereka mencaci cucu perempuanku. Mengatainya gadis murahan!"

Dad memandangku dengan tatapan tenangnya. Namun entah bagaimana, raut tenang itu justru membuatku lebih gugup. "Beritahu aku, Rafael. Bagaimana bisa, Lilybeth--yang nyatanya adalah anak kandungmu sendiri, gagal untuk menjaga nama baik keluarga Davis?"

Aku tak membalas. Tubuhku seakan kaku seraya aku berdiri di seberang coffee table dengan kedua tangan terlipat di depan tubuh.

Demi Tuhan, umurku hampir menyentuh lima puluh. Tapi Dad selalu berhasil membuatku merasa seperti anak kecil yang membangkang perintah orang tuanya setiap kali dia mengomel dan menasehatiku.

"Coba lihat Michael," tambah Dad. "Tentu. Dia anak adopsi. Berita tentang kebenaran itu mungkin sempat membuat kita kewalahan beberapa tahun yang lalu, tapi Michael tak pernah sekali pun mempermalukan nama keluarganya. Di usia remaja, dia menyalurkan hobinya bermain game dengan membuat akun streaming bersama kedua temannya.

"Dan jangan lupakan video sponsor yang sempat dia lakukan waktu itu. Dia berhasil membuat banyak orang kagum dengan kemampuannya berakting di balik kamera. Lalu sekarang? Dia berhasil masuk ke Stanford University dan mengisi waktu luangnya dengan menjadi model baju."

"Dad," aku menyela. "Aku paham apa maksudmu. Aku gagal mendidik Lily. I get it."

"Kau terlalu memanjakan gadis itu, Rafael," Dad menginterupsi. Dia mencondongkan tubuh dan memandangku dengan tatapan dipenuhi kekecewaan. "Dia akan menjadi pribadi yang semena-mena jika kau terus mendidiknya seperti itu. Apa itu yang kau mau?"

Aku terdiam.

"Kau harus bersikap tegas padanya, Rafael," Dad kembali menambahkan. "Dan aku ingin kau menjauhkannya dari pemuda berandal itu. Dia memberi pengaruh buruk untuk cucuku."

.
.

Aku menutup pintu kamar selembut mungkin, tak ingin membangunkan istriku jikalau dia sudah tidur. Tapi sepertinya usahaku gagal. Karena wanita itu segera membuka matanya dan mencari keberadaanku di kegelapan.

"Rafael? Apa itu kau?" Mia memanggil dengan suara serak khas bangun tidur.

"Ini aku."

Setelah melepaskan jas dan meletakkannya di gantungan baju, aku menghampiri ranjang dan duduk di pinggir kasur. Istriku bergeser mendekat agar aku bisa memberinya sebuah kecupan di pipi.

"Apa aku membangunkanmu?" aku berbisik.

Mia bergumam rendah dengan mata terpejam. Aku tersenyum pada diri sendiri. Jemariku menyisir rambutnya dengan lembut seraya aku mengagumi kecantikan istriku dalam diam.

"Dad datang menemuiku," aku memberitahu. "Dia bilang bahwa aku terlalu memanjakan Lily." Mia membuka mata dan memandangku. Aku membalas tatapannya, suaraku terdengar serak ketika aku bertanya, "Apa aku gagal mendidiknya, Pumpkin? Ataukah aku terlalu keras pada Lily hingga dia berakhir membangkang pada orang tuanya?"

"Oh, Rafael...." Mia bangkit agar dia bisa merengkuhku. Aku bersandar di pundaknya, membiarkan istriku membelai kepalaku dengan sayang. "Itu bukan salahmu. Mendidik seorang anak memang bukan pekerjaan yang mudah. Kita mungkin melakukan kesalahan tanpa disengaja. Tapi kita tetap menginginkan yang terbaik untuk anak kita, benar?

"Lily bukan anak kecil lagi, Rafael. Dia mungkin akan melakukan satu atau dua kesalahan. Dan disitulah peran kita sebagai orang tuanya dibutuhkan. Kitalah yang harus mengarahkan anak kita ke jalan yang benar. Kita tak bisa memaksa Lily untuk mengambil sebuah keputusan yang kita inginkan, tapi kita bisa memberinya pilihan untuk memilih keputusan mana yang terbaik untuknya."

Aku tak mengatakan apa-apa untuk membalas ucapan istriku, membiarkan kata-katanya terserap ke dalam benak.

Setelah membiarkan keheningan menyelimuti kami berdua, aku kembali menegakkan tubuh dan membuka suara. "Dad menyuruhku untuk menjauhkan Lily dari Trevor."

"Bagaimana caranya?"

"Aku... sempat berpikir untuk menjodohkan Lily," ungkapku.

Ada sebuah kerutan tak setuju di dahi Mia. Namun alih-alih mengungkapkan rasa protesnya, dia bertanya, "Siapa yang ada di pikiranmu?"

"Well, ada satu orang."

Aku merogoh saku celana dan mengeluarkan ponsel dari sana. Angka jam yang tertera di layar ponsel membuatku bertanya-tanya, apakah sekarang waktu yang tepat untuk menelepon seseorang.

Namun ketika panggilan itu diangkat, ada secuil rasa harap yang memercik di dadaku.

"Mr. Davis?" pemuda itu menyapa.

Oh, anak itu sungguh harus berhenti bersikap terlalu formal padaku.

"Halo, Grey. Apa aku membangunkanmu?"

"Oh. Tidak, Mr. Davis. Aku masih terjaga. Masih ada tugas kuliah yang harus aku selesaikan," jawab Grey.

"Ada hal yang perlu kubicarakan denganmu dan juga orang tuamu, Grey."

"Dengan orang tuaku?"

"Betul. Besok, pukul sepuluh pagi. Aku, istriku, dan Michael ingin meminta waktu kalian sebentar."

Aku bisa merasakan bahwa ada berbagai macam pertanyaan yang hendak dilontarkan pemuda itu, tapi alih-alih menanyakannya, Grey hanya menjawab, "Baik, Mr. Davis. Aku akan memberitahu orang tuaku."

"Terima kasih, Grey," balasku. "Maaf karena sudah mengganggumu malam-malam begini."

"Bukan masalah, Mr. Davis."

Aku mengakhiri panggilan dan meletakkan ponsel di laci samping tempat tidur. Mia terlihat memandangku, seolah menungguku mengatakan sesuatu.

"Apa?"

Mia menggelengkan kepalanya. "Sudah berapa lama niat itu tertanam di pikiranmu?"

Aku terkekeh kecil mendengar nada menuduh tersirat di pertanyaannya. "Cukup lama. Kurasa." Aku menghentikan apa pun yang hendak diucapkan istriku dengan sebuah kecupan singkat di bibir. "Now, shush. Aku membutuhkan jimat keberuntunganku agar pertemuan besok pagi berjalan lancar," ujarku sambil membuka kancing kemeja, dan mendapatkan tawa kecil dari Mia sebagai balasan.

• • •
• •

TBC.

ㅤㅤ
Ada nggak sih, yang nungguin kelanjutan cerita ini?

ㅤㅤ
ㅤㅤ
March 29th, 2024.
Best regards,
Haza Rory.

Meant To Be (ON HOLD)Where stories live. Discover now