Prelude

69 11 16
                                    

"Aku telah mati ... begitu saja."

Maka aku mencoba memikirkannya, mengapa aku berada di sini, di tempat matahari yang tak pernah terbit maupun terbenam—suatu tempat yang jelas bukan duniaku.

Setelah banyak waktu yang kugunakan untuk berpikir—mencari jawaban atas kebingunganku di sini, aku telah mengira, bahwa mungkin semua ini terjadi setelah keputusan Bu Rimar kepadaku.

"Saya ingin, kamu menggantikan posisi Adair sebagai kapten Sparkling Aces!"

Mengetahui lebih dari yang aku sadari bahwa keputusan Bu Rimar mengundang pro dan kontra, terutama Adair, maka aku menuding itu adalah awal perkara yang menciptakan takdir ini.

Dari yang terakhir kali aku ingat, aku tengah melambung tinggi, melakukan atraksi cheerleader bersama timku. Namun, tiba-tiba sebuah tragedi memindahkanku ke tempat asing ini. Tempat yang sejak pertama kali kudatangi membuatku merenung.

Dalam hati, aku menyadari bahwa kecelakaan yang menimpaku bukanlah kebetulan. Pasti ada di antara rekan timku yang tidak setuju dengan keputusan Bu Rimar dan sengaja menyabotase atraksiku, mengakibatkan aku jatuh.

"Kejam...," gumamku.

Dalam hati yang paling dalam, terbang adalah bagian dariku yang paling menyenangkan—moment ketika aku, sejenak, melepaskan diri dari gravitasi, menjadi bagian dari udara.

Atraksi hari itu seharusnya menjadi puncak dari semua latihan keras kami, sebuah momen ketika aku, sebagai flyer, dilemparkan tinggi ke udara oleh delapan pasang tangan timku yang kuat, dalam sebuah gerakan yang disebut "basket toss". Harusnya, aku melayang lurus ke atas, berputar dengan anggun, dan kemudian mendarat dengan aman di atas tangan yang sama yang telah melemparkanku.

Namun, saat tiba-tiba saja, sesuatu berjalan salah. Ada pergeseran, sebuah penyimpangan dari rencana yang telah mati-matian kami latih. Aku seharusnya terlempar lurus ke atas—namun, kekuatan lemparan, entah bagaimana, mengirimku menyimpang sedikit ke kanan.

Ini adalah perbedaan halus namun fatal. Karena sedikit penyimpangan itu, formasi tim di bawahku, yang seharusnya berada tepat di tempat pendaratanku, kini berada beberapa inci di sisi yang salah.

Saat itu, terdengar sorakan panik yang mengundangku untuk membuka mata, dan begitu saja aku menyadari bahwa tidak akan ada yang menangkapku kali ini. Tidak ada tangan yang menyambut, hanya kehampaan udara, dan kemudian, kerasnya lantai yang menerima tubuhku.

Saat aku terbangun, di sinilah aku, di tempat asing. Alih-alih lapangan latihan dengan lampu yang menyilaukan serta sorak sorai timku. 

"Pantai Fajar Abadi bukan tempat untuk orang-orang yang kehidupannya telah berakhir. Tempat ini menggambarkan keabadian dan harapan untuk kesempatan kedua." Satu suara asing terdengar dari arah belakang.

Aku segera menoleh, hanya untuk dikejutkan oleh kedatangan sosok cantik yang kemudian duduk di sisiku.

Dia menoleh ke arahku. "Kehidupanmu belum berakhir."

Kedua tanganku menangkup, menempel di depan dada, menunjuk diriku sendiri. Aku bertanya dengan reaksi terkejut yang kemudian disusul harapan, "Aku... masih hidup?"

Gadis itu mengangguk lembut.  "Hanya jika kamu mau mengambil kesempatan itu."

"Maksudnya?"

"Waktumu terbatas. Orangtuamu mungkin akan menyerah soal membiayaimu di rumah sakit, tapi aku dapat membantumu—dengan syarat kamu membantuku."

Sekejap aku kehilangan kemampuan untuk berbicara. Ketika aku membuka mulut, yang keluar hanyalah embusan napas yang terbata. Namun, segera ku-kuasai kembali diriku.

"Memangnya aku kenapa?"

"Kamu sedang koma."

Oh, jadi benar, aku belum mati. Kukatakan itu dalam hati, namun sosok cantik ini kentara sekali istimewanya, karena mengetahui batinku.

"Tapi waktumu terbatas. Kamu benar-benar akan mati jika tidak mengambil kesempatan ini."

"Bagaimana caranya?"

Gadis itu menatap lautan, lalu kembali kepadaku, "Kita berada di tempat dimana kesempatan bekerja secara berbeda. Aku memberimu peluang untuk tetap hidup, sementara aku... aku sudah tidak memiliki kesempatan itu."

Gadis itu menghela napas, "Kamu tidak bisa sendirian. Kamu membutuhkan seseorang untuk mempertahankanmu. Dan aku... Aku telah meninggal. Yang bisa aku tawarkan adalah kesempatan dari masa lalu."

Aku masih menyusun reaksi prihatin dan duka untuknya saat ia melanjutkan kalimatnya. "Tolong bantu aku. Temukan siapa yang mengkhianatiku."

Ia mengatakan kalimat terakhirnya dengan binar penuh harap menari-nari di matanya, sementara mataku gagal memahaminya.

"Kamu akan menghidupkanku kembali, lalu aku mencari siapa yang mengkhianatimu?" Aku mencoba memahami.

"Bukan. Aku akan membawa jiwamu ke masa laluku. Kamu akan hidup sebagai aku, dan dalam posisi itu, kamu dapat meminta ayahku membantu membiayai perawatanmu."

"Eh? Tapi—"

"Cari laki-laki bernama Nero Radian Figo. Dia adalah kunci kamu bisa memasuki ranah kehidupanku."

Tanganku mengibas-ibas di depan wajahnya, memintanya berhenti berbicara. "Eh sebentar dulu—"

Kalimatku tak terteruskan, terinterupsi oleh rentetan kalimatnya yang seakan tidak mau memberiku kesempatan untuk berbicara. "Dia tidak ada kaitannya denganku sih, tapi mungkin saja bisa membantumu. Namanya Kazema Kaze. Kamu perlu mengenalnya..."

Sebelum aku bisa bertanya lebih lanjut, suara gadis itu memudar, seperti juga kesempatanku untuk berbicara. Semua terasa melambat, menggantungkanku dalam ketidakpastian...

━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━
Silakan beri saya kritik dan saran menggunakan bahasa yang baik untuk diterima. Terima kasih🙏💋

By: Khrins

Why Do I Do This? [END]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora