fifteen: should we do it again?

1.2K 137 144
                                    

\\Bangkok, Maret 2024

-

FREEN

Kali keduaku menyambangi foyer BTS Group Holdings.

Perusahaan publik satu ini memang tidak main-main. Lobinya luas dan supermewah. Lantai marmer, tangga berputar, dan pilar keemasan. Aku di sofa biru benhur, menunggu, bolak-balik menyelia elevator. Aku sengaja datang lebih awal. Selain pekerjaanku telah rampung sisanya aku terlalu bersemangat.

Becca memastikan movie date kami tidak gagal lagi. Gadis Inggris itu berjanji akan merempuh siapa pun yang mengadang jalannya. Dia mengucapkannya pagi tadi, aku tertawa saja. Becca menginap di rumahku. Kami pergi ke kantor dan pulang bersama. Biasanya aku lebih suka menanti di mobil—seperti kemarin. Hari ini aku menginginkan sedikit kejutan.

Gema sepatu hak tinggi mengundangku mendongak. Buddha. Aku menelan ludah berat. Gadisku cantik dan menyilaukan. Becca tersenyum manis. Udara mendadak lesap. Sial. Cepat-cepat aku berpaling sebelum perempuan cantik itu meringkus kilat terpukau sekaligus tidak berdaya di mataku. Tampaknya aku bersiap meluruh ke lantai.

"Phi," Becca memelukku, "sudah lama?"

"Tidak juga." Tsk, lari ke mana kepercayaan diriku?

Becca memiringkan kepala, menahan tawa. "Tidak juga berarti ... iya?"

Aku meringis. Berhenti berlebihan, Bec. Ketahuilah ini tidak baik untuk jantungku.

Gadis Inggris itu sudah pasti tidak mendengar. Beberapa orang melewati kami. Becca membalas sapaan rekan kerjanya. Tautan tangan kami tidak terlalu erat, tidak jua renggang. Fokusku bukan di sana. Kenyataan bahwa Becca tidak mengurainya, aku merasa terakui.

"Bec," tegurku. Sebentar. Gaun kasual gadis itu mengganggu mataku. White dress Becca panjang hampir menyentuh mata kaki. Itu bukan masalah kalau saja tidak berpotongan pas badan. Dia menempel bagai kulit kedua. "Tolong pakai blazermu dengan benar."

"Huh?" Becca kelihatan bingung.

Aku tidak memberinya kesempatan. Mataku saja berkhianat, bagaimana dengan orang lain? Atasan berwarna merah muda pucat yang tadinya tersemat di lengannya kini merangkul pundak rampingnya. Becca tidak menyelipkan tangannya ke masing-masing lengan. Dia hanya diam, pasrah, dan barangkali kesal.

Apakah aku peduli? Sama sekali tidak. Becca boleh tidak suka dan aku boleh keras kepala.

"Berhenti cemberut," kubilang. Kami di mobil. Gedung BTSG jauh di belakang.

Becca mengesah. Gadis seksi itu—yang tak lagi terlalu terbuka—mengambil tanganku. Masih dalam aksi diamnya Becca menyisipkan jemari rampingnya di antara jari-jari tangan kiriku. Kehangatannya merangkak lekas menuju tengah dada. Aku penuh dan utuh.

"Apa tadi, hm? Cemburu?"

"Huh?" Giliran aku yang terperanjat. Beruntungnya SUV-ku berhenti di persimpangan.

Becca tertawa menggemaskan. Dipeluknya lenganku dan dikecupnya pipiku. Air muka kelesahku mengundang perempuan itu tertawa keras dan melepaskan ciuman bertubi di seluruh wajahku. Kami tergelak bersama. Sore ini menyenangkan. Semuanya tepat.

"PiFin tahu, kan, aku tidak suka berbagi milikku dengan orang lain?"

"Mmm." Obrolan usang kami. Cemburu pertamanya Becca. Kami di bangku mattayom.

"Itu artinya aku juga tak akan berbagi milikmu pada siapa pun." Becca tersenyum, tepat di depan mataku. "Dimaafkan?"

Aku menggeleng dan tertawa. Ujung jariku membelai lembut bibir merah berlipstik mahal itu sebelum mengecupnya dalam dan lama. Apa tadi katanya? "Selalu, Nong. Tidak mungkin tidak."

Everything is Enough: Back to YouWhere stories live. Discover now