four: you are still here

754 112 130
                                    

\\Bangkok, Februari 2024

-

FREEN

Langit Februari semakin cerah. Biru jernih dengan awan tipis.

Aku berkendara dalam kecepatan sedang. Pukul tujuh. Masih ada cukup waktu untuk mampir ke minimarket. Sabtu kemarin aku berbelanja bulanan. Tiba di rumah aku baru menyadari ada yang terlupa dari daftar keperluanku. Oatside, susu oat siap saji, teman sarapanku.

Sepertinya aku harus mulai serius memikirkan ajakan berlibur bulan April mendatang. Usiaku dua puluh enam—jalan dua tujuh; enam bulan lagi, bisa-bisanya aku sepikun ini. Bila berkaitan dengan jabatanku sekarang serta volume pekerjaan yang meningkat, bukankah memang ini yang kuinginkan?

Ah, itu dia, 7-Eleven! Aku menyalakan lampu sign kiri sebelum memutar kemudi.

Terpujilah minimarket yang melayani dua puluh empat jam. Aku mendorong pintu kaca dan bergegas menuju rak minuman. Telunjukku menyelia deretan susu kemasan. Hhh, syukurlah, Oatside-ku ada di sana. Aku menggigit bibir, menyesal tidak mengambil keranjang. Mungkin aku bisa memeluknya. Baiklah.

Enam botol ukuran mini masuk dalam dekapanku. Mereka memiliki tiga varian rasa, tetapi aku hanya mengambil chocolate dan chocolate hazelnut. Aku membawanya ke meja kasir. Sedikit kesulitan sebab juga harus menggenggam ponsel dan kunci mobil.

"Ada lagi, Khun?"

"Tidak. Itu saja."

Ketika kembali ke mobil, hujan terik menitik. Aku menegadah. Matahari masih di sana, tetapi gerimis kecil tampaknya tak mau kalah. Buru-buru aku membuka pintu penumpang, menaruh barang bawaanku. Saat aku beralih ke jok pengemudi, mataku mengerling ke jalan raya. Entah mengapa seperti ada yang menuntun hatiku.

DEG! Seorang perempuan dalam setelan lari melintas. Becca .... Mungkinkah itu dia?

Ruang di kepala dan di dadaku berkecamuk dalam pengharapan sekaligus penyangkalan.

Becca tidak mungkin di sini. Aku yakin. Sudah cukup lama sejak gadis Inggris itu meninggalkan Bangkok. Delapan tahun lalu? Mmm, ya, kurasa sudah selama itu.

Aku meringis. Delapan tahun, huh? Terkadang seperti baru kemarin. Tiap kali memandang diriku sekarang tersadarlah aku semua yang kami miliki telah tertinggal jauh di belakang. Kami selesai, itu akhirnya.

Tapi, bagaimana jika gadis itu benar-benar Becca, Freen?

Suara lain ikut berpendapat. Apa saja bisa terjadi, kan? Kulepas situasi dilematik yang mengungkungku dan berlari tergesa ke garis tepi pelataran 7-Eleven. Di mana dia? Aku memanjangkan leher. Tidak ada. Gadis itu tidak kutemukan di mana pun. Aku membungkuk, menekan lutut. Napasku tersengal.

Becca tidak di sini. Becca tidak ada di sini, Freen.

Aku terus-menerus mengulang kalimat itu. Tidak peduli aku telah kembali ke mobil dan bertolak menuju kantorku. Tetap saja aku merapalkannya berkali-kali di kepalaku. Seolah dengan melakukannya dapat mengurangi nyeri berdenyut di dasar hatiku.

Satu yang kusadari, yang menyakitiku tidaklah kenyataan gadis acak itu bukan Rebecca Armstrong. Namun, fakta bahwa setelah delapan tahun berlalu—sejak kali terakhir aku melihatnya—alam bawah sadarku dan hati kecilku masih menginginkannya dengan cara yang sama.

Aku tidak pernah melupakanmu, Bec. Tidak sekali pun.


Everything is Enough: Back to YouWhere stories live. Discover now