one: we live in today

816 123 150
                                    

\\Cambridge, Januari 2024

-

BECKY

Tiga puluh menit. Aku memasang AirPods dan melangkah ke mesin treadmill.

Daftar putar pertama, penyanyi favoritku, Taylor Swift. Seperti pagi-pagi sebelumnya aku memulai dengan pemanasan selama lima menit. Hanya berjalan. Menit berikutnya aku menaikkan inklinasi. Dua menit di inklinasi yang sama kuubah kembali ke nol. Kemudian, tenggelam. Kecepatan yang meningkat dan aku luruh seutuhnya.

Fokusku hanya terbagi dua: gerak kakiku dan Swift di telingaku.

Kalau saja mempunyai cukup waktu aku lebih suka berlari di luar ruangan. Biasanya aku melakukannya pada akhir pekan—dengan catatan pekerjaan tidak menyeretku dan mengurungku di kubikel kantorku. Huft! Melelahkan, tetapi aku menyukainya. Sungguh, aku tidak berbohong. Hidupku sempurna. Persis seperti kehendakku. Tidak ada yang meleset.

Lima menit sebelum tiga puluh menitku berakhir aku menjalankan pendinginan. Senyumku membias pada bayangan di dinding kaca yang mengilap. Matahari pagi menggeliat. Aku selalu menyukai efek sesudah berlari. Jantungku yang berpacu serta keringat yang membanjiri sekujur tubuh. Aku tertawa kecil. Beruntungnya tidak ada orang lain di workout studio.

Eh? Taylor Swift terjeda. Satu panggilan video masuk. Jane de Leon, seniorku di kantor.

Jane kerap menghubungiku. Di jam yang sama, persis pagi ini. Biasanya sekadar pesan, paling jauh panggilan audio. Satu waktu aku bertanya, Jane bilang alasannya adalah dia tidak ingin aku terlambat tiba di kantor. Perempuan asal Filipina itu tahu aku tinggal sendiri. Jarak apartemen kami yang cukup jauh juga tidak memungkinkan dia menggedor pintu kamarku.

"Magandang umaga[1], Becky." Jane tersenyum cerah.

Aku tertawa. "Hi, Jane. What's up?" Jane selalu memaksaku bersikap kasual padanya. Kami hanya akan berbicara formal jika berada di ruang rapat atau di hadapan para rekan kerja lainnya.

Jane membeku. Aku melambai ke kamera. Perempuan berkulit eksotis itu mengerling dan tertawa. Gugup, eh? "Sorry," katanya, terkekeh. "Kamu sedang workout? Apa aku mengganggumu?"

"Mmm. Tidak." Kuaktifkan kamera belakang, memberi jawaban pada pertanyaan Jane. "Ada apa, Jane?" Aku mengeklik layar, mengembalikan sorotan kembali ke wajahku selagi aku menyapu peluh di pelipis dan leherku. "Oh, wow, sepagi ini sudah di kedai kopi?" Giliran aku yang terkejut.

"Aku menginap di kantor." Jane mengedikkan bahu.

"Berdedikasi sekali," aku menyindirnya. Kami tertawa. Perempuan itu tahu aku bercanda. "Jangan katakan kamu belum sarapan, tetapi sudah meneguk kopi."

Jane meringis. Tebakanku tidak keliru. Tsk, kebiasaan! Jane jelas tak ingin mendengar ocehanku. Dia buru-buru mengalihkan topik. "Jam berapa kamu tiba di kantor, Bec?"

"Seperti biasa, sebelum pukul sembilan."

"Baiklah. Aku akan memesankanmu kopi."

"Tidak perlu, Jane," aku menolak halus. Dia memang selalu melakukannya. Seringnya tanpa pemberitahuan. Ketika aku tiba di kubikelku satu gelas kertas berlogo kedai kopi di lantai dasar gedung kantor kami akan tersedia di sudut mejaku. "Aku bisa membelinya dalam perjalanan. Aku punya cukup waktu hari ini."

Jane mengangguk mengerti. "Lekaslah bersiap. Paalam, Maganda[2]!"

Aku tersenyum kecil, melambai, dan mengakhiri sambungan telepon. Jane bilang di zaman sekarang pujian satu itu kerap dianggap kuno, biasanya hanya ditemukan dalam novel maupun drama klasik Filipina. Anehnya dia malah menjadikan kebiasaan saat memanggilku. Aku mengiakan saja. Selama bukan sesuatu yang aneh buatku tak masalah.

Everything is Enough: Back to YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang