BAB | 1

5 2 0
                                    

Happy reading ~

•>♡<•

Di sebuah negeri yang baru saja mendapatkan kedamaiannya lagi,
11 Februari 1982, tepat pada hari lamaran.

Sebuah garpu jatuh dari genggaman tangannya, menimbulkan suara yang begitu nyaring. Tidak hanya menimbulkan suara nyaring semata, namun suara nyaring yang juga mampu memberhentikan mulut mereka yang tidak berhenti berbicara. Ruangan perjamuan yang sekejap sunyi, Lottie jadi yakin sekali, perhatian mereka sekarang tertuju kepadanya.

Dari gerak gerik mereka, Lottie bisa merasakannya. Perasaan tidak suka yang begitu ditunjukkan kepadanya. Lottie juga tidak merasa heran dengan perlakuan mereka kepadanya. Justru aneh, bila mereka melakukan sebaliknya. Sebagai gadis lumpuh, yang berjalan saja tidak bisa. Lalu dengan kedua mata yang tidak bisa melihat. Tidak heran, banyak orang yang menganggapnya sebagai beban. Bukan mereka saja yang menganggapnya beban dan membencinya, begitu juga dengan Lottie. Dia semakin membenci dirinya yang tidak bisa apa-apa.

Dirinya yang sudah tahan banting dengan gerak-gerik tidak suka mereka, selalu membalasnya dengan senyuman manis.

Dengan tetap mempertahankan senyumnya, dia mengangkat jari tengah dan telunjuknya. Pelayan yang di dekatnya pun lantas menghampirinya. Menyerahkan garpu baru itu kepada orang yang disebelahnya, serta mengambil kembali garpu yang telah terjatuh itu dengan sopan. Karena dia buta, tentu dia harus disuapi oleh orang lain.

Ruangan yang sebelumnya begitu berisik, kembali dengan suara peralatan makanan yang saling berbenturan. Tidak ada percakapan yang terjadi. Seolah-olah mereka melupakan percakapan yang sebelumnya mereka bahas.

Suasana yang suram itu kembali tercerahkan oleh kekehan paruh baya. "Kamu pasti sangat gugup, calon menantuku," ujarnya dengan kekehannya.

Lottie menghalangi mulutnya dengan tangannya, sembari ikut terkekeh dengannya. "Iya, siapa yang tidak akan gugup, ketika calonmu orang yang sempurna," balas Lottie.

Tentu saja, calon mertuanya semakin terkekeh ketika mendengar balasannya. Dia menyikut sikut putranya yang sibuk memakan makanannya, sembari berceloteh panjang lebar mengenai putranya.

Kedua orang tua Lottie membalasnya dengan helaian napas lega. Mereka bersyukur dengan respon ramah yang diberikan oleh calon besannya. Semakin lega lagi, ketika neneknya yang ikut menampakkan senyumnya di wajahnya yang sedikit mengeriput, menandakan acara lamaran hari ini cukup lancar.

Tradisi perjodohan Cartvis. Tradisi turun temurun yang dilakukan dari para pendahulunya. Dimana para orang tua, menjodohkan putra-putri mereka kepada keluarga konglomerat bagaikan barang. Para orang tua tidak memperdulikan bagaimana dampak anak besannya nanti kepada putra-putrinya. Bagi kedua orang tuanya, dengan kedua belah pihak yang saling terikat perjanjian, uang tetap segalanya.

Sekarang, tradisi gila itu hanya baru berhenti di generasinya. Setelah perdebatan panjang yang dilakukan oleh kedua orang tuanya, sang nenek akhirnya mengikuti permintaannya. Namun dengan syarat, Charlotte Estiana Chartvis, harus menikah dengan anak dari keluarga Davis. Bukan semata-mata hanya untuk mengakhiri tradisi, namun untuk mengikat kedua negara.

Ketika syarat yang diberikan neneknya turun, tanpa meminta pendapat Lottie terlebih dahulu, kedua orang tuanya saling menyetujuinya. Bagi mereka, sudah sepantasnya anak sulung, berkorban demi adik-adiknya dan negara.

Tiba-tiba saja, Lottie merasakan tangannya yang sedang diremas oleh seseorang. Remasan tangan yang begitu lembut. Cukup membuyarkan semua pikirannya.

Lottie yang sudah hapal dengan tangan lawannya, serta mengerti maksud tujuannya tanpa waktu yang lama, dengan senyum yang sudah seperti senjata andalannya, tangannya bergerak menyauti remasan ibunya. "Mama sebaiknya tidak usah khawatir dengan Lottie," ujar Lottie yang mengakhiri perkataannya dengan senyuman manis.

REGRETWhere stories live. Discover now