The Agreement

48 9 0
                                    

Segera setelah mesin interkom tidak mengeluarkan suara lagi, Jin menarik telunjuknya yang semula masih menekan tombol utama mesin.

Tak lama, ia mendapati pintu kantornya diketuk dari luar.

"Masuk!"

Begitu mendengar perintah tersebut, pembatas antara ruangannya dan dunia luar itu terbuka, menampakkan sesosok perempuan bersurai kecokelatan dengan panjang sedikit melebihi bahu, memasuki ruang kerjanya.

Jin bisa melihat wanita yang pagi itu mengenakan blazer dan celana hitam, dipadukan dengan kemeja satin peach, berjalan dengan sangat percaya diri ke arahnya.

Sebelum Jin mempersilahkannya duduk, ia bahkan sudah lebih dulu menarik kursi lalu menempatkan dirinya senyaman mungkin.

Manik Jin bergeser kembali ke arah pintu masuk, karena masih dilihatnya pintu itu terbuka dan sekretarisnya juga masih mematung disana, menunggu perintah selanjutnya.

"Mau minum dulu?" Sebagai tuan rumah yang baik, Jin membuka obrolan.

"Ide bagus," ujung bibir sang wanita sedikit terangkat, tidak menyangka bahwa seseorang yang dikenal dingin seperti Jin, bisa bersikap cukup ramah ketika menjamu tamunya. "Aku mau teh hangat..."

"Barley tea, kan?" Tebak Jin seraya memamerkan senyum angkuh di wajah.

Wanita yang diajaknya berbicara nampak terkejut karena Jin bisa mengetahui informasi yang cukup pribadi tersebut. Beberapa bulan belakangan, ia memang rajin mengkonsumsi jenis teh tersebut untuk menjaga elastisitas kulit wajah di usianya yang sudah mulai menginjak 30 tahun.

Menyadari raut wajah lawan bicaranya berubah, Jin berdehem. "Aku harus mencari informasi sedetail mungkin tentang calon rekan kerjaku," ia kemudian berbicara pada sekretarisnya. "Bawakan secangkir kopi hitam dan secangkir teh barley."

Begitu sang sekretaris pergi untuk memproses orderan, Jin mendapati wanita di depannya menyeringai. "Kantormu menyediakan teh barley? Luar biasa."

"Aku sengaja mempersiapkannya karena tahu kau akan segera bergabung dengan kami cepat atau lambat," jawab Jin sembari membiarkan maniknya kembali menatap sang lawan bicara.

Wanita bermarga Jung itu lagi-lagi dibuat tersentak. Ia tidak menyangka selain begitu percaya diri bahwa dirinya bersedia menerima tawaran tersebut, ia juga terkejut karena seorang miliarder angkuh seperti Jin tahu cara meraih simpati calon kliennya.

'Mungkin itu yang membuat perusahaannya maju seperti sekarang,' gumamnya sedikit mengagumi cara kerja sang pebisnis muda.

"Jadi bagaimana soal penawaranku semalam? Kau sudah membuat keputusan kan?" Jin melipat kedua tangan di dada sambil mengistirahatkan punggung di sandaran kursi. "Gaji yang akan kuberikan bernilai fantastis dan kau tidak akan mendapat penawaran sama di tempat lain."

Walaupun sejujurnya tertarik, wanita bersurai kecokelatan itu tidak mau luluh begitu saja. Memiliki imej sebagai seorang pembunuh bayaran yang dingin dan misterius, pantang baginya untuk membuat semuanya mudah, termasuk menerima tawaran menggiurkan yang diberikan oleh Jin.

"Kenapa kau memerlukanku? Kau sudah punya banyak pengawal yang bisa melindungimu. Yang kudengar, kau juga cukup jago berkelahi dan ahli dalam menembak. Kenapa masih memerlukanku?"

"Karena hanya kau satu-satunya orang yang menurutku bisa melakukannya," Jin masih menatap lawan bicaranya dengan semburat ketegasan. "Kau tahu hubunganku dengan ayahku tidak akur, bukan?"

Sebelah alis wanita bersurai cokelat itu terangkat. Walau tidak tahu seratus persen kebenarannya, ia pernah mendengar bahwa ada perang dingin antara Park In Ha- ayah biologis Jin, dengan putra kandungnya.

JIN's BodyguardWhere stories live. Discover now