"Mhm."

"Terus ke mana suamimu? Dia nggak nganter?"

Aku harus jawab apa?

"Itu, em... dia lagi sibuk. Jadi nggak bisa nganter beli."

"Oh, jadi kamu pengen rasa apa?"

"Aku nggak tau..."

"Susah juga, soalnya kalau salah beli kan mubazir." Dia menggaruk kepalanya, maafkan aku karena sudah membuatmu ikut bingung, Mas. "Gini aja deh, gimana kalau kamu coba merk yang biasa istriku beli? Dia suka banget soalnya, mungkin juga kamu bakal suka."

Lantas dia mengambil satu karton yang kebetulan menjadi incaranku di awal. "Ini. Beli satu aja dulu, kalau cocok baru beli stok yang banyak."

"Makasih, Mas...?"

"Arfan."

"Makasih Mas Arfan. Maaf kalau aku ngerepotin."

"My pleasure. Kalau gitu aku pergi dulu."

Bahkan dia tidak berniat mengetahui namaku. Oh, dia setia sekali. Semoga Han Seungri seperti itu kelak.

***

Dari kejadian terakhir, kami jadi dekat. Tidak, bukan aku dan Arfan si lelaki yang membantuku, melainkan aku dan Kak Sandi. Aku sadar interaksi antara kami semakin banyak di kantor, tapi aku serius aku hanya berkonsultasi masalah kehamilan padanya, selain urusan kantor pastinya. Dia pernah mengatakan dia yang menemani Gita selama masa kehamilan, jadi kurasa dia mungkin tahu banyak yang bisa jadi ilmu baru buatku.

Namun, aku tidak tahu bahwa kedekatan kami itu mengundang berbagai rumor aneh yang tersebar di penjuru kantor. Awalnya aku merasa biasa saja, toh mereka tidak tahu yang sebenarnya. Tapi semakin ke sini, rasanya semakin rumit saja. Rumornya semakin besar dan bercabang kemana-mana. Bahkan Bu Cantika selaku HRD kantor sampai menanyakan status hubunganku dengan manager divisi R&D itu.

Dan semakin hari, keanehan semakin banyak terjadi padaku. Nafsu makan meningkat, mood yang seperti rollercoaster, dan pemilih dalam makanan. Perubahan ini jelas karena hormon kehamilan. Mau tak mau aku harus menerima sikap anehku yang untungnya, tidak terlalu merepotkan. Bahkan memasuki minggu keenam, muntahku tidak lagi setiap hari.

Namun, kali ini baby sepertinya tidak ingin bersekutu lagi denganku. Aku yang sebelumnya mampu beraktivitas normal selama bekerja, hari ini lumayan menguras tenaga. Terhitung sudah dua kali aku bolak-balik ke kamar mandi sampai jam istirahat ini, mau marah pun aku tidak bisa.

"Cupcakes, hari ini tolong bekerja sama dulu, ya? Mama masih kerja. Boleh enggak manjanya besok aja? Besok kamu bisa manja-manja sepuasnya, soalnya Mama libur."

Sejauh aku mengetahui kehadirannya, aku tak pernah kepikiran akan mengatakan hal itu pada sesuatu yang bahkan masih seukuran tomat ceri. Hah... keadaan ini merubahku hampir 180 derajat.

Tapi, sesuatu yang kusematkan panggilan cupcakes itu sepertinya enggan mendengarkanku. Oke, kalau dia keras kepala, maka aku juga bisa. Aku akan tahan apapun yang mengganggu pekerjaanku hari ini.

Kecuali, bau makanan yang tajam.

Iya, kecuali itu. Aku benar-benar tidak tahan. Namun naasnya, saat ini aku harus menghadapinya. Jam makan siang ini, satu divisi sudah berencana makan siang bersama. Awalnya aku tak keberatan, tapi melihat ikan goreng yang tersaji di atas meja membuatku tiba-tiba mual. Ingin menahannya tapi aku tidak kuasa. Baru beberapa menit duduk di sana, aku sudah izin ke toilet dan memuntahkan sisa makanku tadi pagi.

Sekarang bagaimana? Aku memaksa bergabung atau diam saja di kantor?

Pilihan A jadi pilihan yang kupilih, sebab tidak ada pilihan lain. Jika aku memilih diam, bukan hanya mereka akan kecewa padaku, tapi itu berpengaruh pada kesehatanku jika lagi-lagi aku melewatkan makan siang. Lagipula saat kemari tadi, aku jelas-jelas melewati Kak Sandi, yang artinya makan siang ini dikhususkan untuk merayakan keberhasilan riset kami kemarin.

Cupcakes | JisungWhere stories live. Discover now