Takdir seorang hamba sudah tertulis jelas dalam skenario Sang Pencipta. Semua sudah diatur sebaik mungkin. Hanya saja, masih banyak manusia yang lupa, bahkan sengaja berbuat maksiat dengan kesadaran penuh. Sombong, ujub, ria dan hasad atau dengki, sudah menjadi sifat yang lumrah dikalangan masyarakat. Padahal keempat sifat itulah yang paling terburuk di dalam agama.

"Aku lelah, Mad. Aku lelah," lirih Ilham. Suaranya terdengar serak.

"Berhentilah membenarkan semua tindakanmu, Ham. Semua ini salah. Tapi, tidak ada kata terlambat. Kita bisa perbaiki kesalahan itu, asal kau mau menceritakan semuanya padaku." Bujuk Ahmad, ia semakin mendekat saat dirasa sang teman mulai luluh.

"Jangan dengarkan dia, Nak! Dia hanya seorang penghasut!"

Ahmad dan Ilham menoleh ke arah pintu kamar, di sana sudah berdiri Suryono dan juga orang yang membuat kedua mata Ahmad tak berkedip sedetikpun.

"B-bapak!"

Ki Alif menatap tajam putra sulungnya. Wajah itu masih sama, tidak ada yang berubah setelah sekian tahun tak bertemu.

"Ba-bapak masih hidup?" Tanya Ahmad terbata-bata. Linangan air mata tak dapat dicegah. Air bening itu membanjiri kedua pipinya.

"Apakabar, Putraku. Apa kau tak rindu kepadaku," Ujar Ki Alif dengan nada suara yang tegas.

Ahmad menggelengkan kepala berulang kali. Ia tak pernah lupa dengan kejadian beberapa tahun silam, di mana di depan matanya sendiri, Ahmad menyaksikan keluarganya dibantai oleh sekelompok orang jahat. Dan bahkan, ia sendiri yang terakhir kali melihat jasad sang bapak dengan luka goresan di lehernya.

"Kemarilah, Nak." Ki Alif merentangkan tangan, seakan menyuruh sang putra untuk memeluknya.

Ahmad berjalan pelan menuju posisi sang bapak, akan tetapi ia dikejutkan dengan langkah Ilham yang tiba-tiba mendahuluinya.

Bak disambar petir di siang bolong, pemandangan dihadapannya membuat Ahmad terkejut hebat. Pasalnya, sang bapak justru memeluk Ilham, bukan dirinya.

"Beristirahatlah, biar bapak yang urus," titah Ki Alif pada Ilham. Suryono, mengajak Ilham pergi dari tempat itu. Tinggal Ki Alif dan Ahmad, yang saling beradu pandang.

"Terkejut?" Tanya Ki Alif dengan nada mengejek.

"Apa maksud dari semua ini, Pak. Dan kenapa bapak berada di sini, bukankah du—

"Aku sudah mati, begitu?" Potong Ki Alif. Dan Ahmad pun mengangguk.

"Kamu itu terlalu polos untuk pemuda seusiamu, Mad. Bahkan, kau pun tidak sadar sudah diperdaya Sobirin selama ini." Lanjut Ki Alif.

"Diperdaya? Apa maksud Bapak?" Ahmad bertanya sambil berjalan mendekat.

"Hahaha! Dasar, bodoh. Sial sekali sekarang kamu menjadi musuhku. Seharusnya dulu kamu saja yang mati, bukan anak perempuanku!" Ki Alif berlari menuju posisi Ahmad, dan berhasil mencengkeram leher pemuda itu.

"Lepas, Pak!" Seru Ahmad yang kesulitan bernapas.

"Manusia tengik itu memang sengaja membiarkanmu hidup, supaya bisa menghalangi jalanku. Untung saja dia sudah mati, kalau tidak, akan aku cincang tubuhnya!" Geram Ki Alif sambil terus mempererat cengkeramannya.

"Uhuk! Uhuk! Uhuk!" Ahmad mulai kehabisan napas. Tangannya mencoba melepas cengkeraman sang bapak, sayangnya tenaga sang bapak jauh lebih kuat dibanding dirinya.

"Semua sudah selesai, sesuai rencana Ki." Ucap seseorang yang muncul di belakang Ki Alif. Entah sejak kapan orang tersebut datang.

"Bagus, kita lakukan rencana selanjutnya." Balas Ki Alif.

JALAN PULANGWhere stories live. Discover now