Bab 17

590 35 1
                                    

Mbok Inah bergegas menuju salah satu rumah penduduk. Mbok Inah sangat gelisah mendengar kematian Popon. Ia sangat takut, jika peristiwa silam terulang kembali. Peristiwa di mana banyak warga yang tak bersalah menjadi korban orang penganut sekte tertentu.

Beralih ke Ahmad, pemuda itu terus membuntuti langkah Pak Sulaiman, namun tiba-tiba ia berhenti. Ia baru teringat akan suatu hal.

"Ada apa, Mas? Kenapa berhenti? Kita sudah ditunggu warga yang lain," tanya Pak Sulaiman dari kejauhan.

"Kenapa tidak lapor polisi saja, Pak? Kematian Popon sangatlah tidak wajar," jawab Ahmad.

Pak Sulaiman terkejut mendengar jawaban Ahmad. Mengapa tak terpikirkan sejak awal. Mendengar ucapan Ahmad, Pak Sulaiman segera menghampirinya.

"Kamu benar, Mas. Memang seharusnya kita lapor polisi. Tapi, kalau menunggu polisi, pasti akan sangat lama. Jarak dari kota ke sini saja memakan waktu yang cukup lama. Apa polisi akan segera datang, jika kita lapor sekarang? Dulu saja, waktu kematian Aisah, polisi baru tiba di sini dua hari sesudahnya." Ujar Pak Sulaiman. Raut wajahnya sedikit sendu.

"Dua hari? Yang benar saja, Pak." Cetus Ahmad.

"Benar, Mas. Kami merasa kasihan dengan jasad Aisah. Belum lagi kami juga harus menunggu dokter forensik datang. Butuh waktu satu bulan untuk menyelidiki kematiannya. Dan pada akhirnya, kami semua kecewa karena pihak kepolisian berkesimpulan, jika kematian Aisah murni bunuh diri. Kami para warga dihantui rasa bersalah, sebab membiarkan jasad Aisah begitu saja. Maka dari itu, sekarang kami memutuskan untuk segera menguburkan setiap warga yang meninggal, meskipun banyak kejanggalan." Kata Pak Sulaiman mencoba bicara secara terang-terangan kepada Ahmad.

Ahmad terkejut mendengar penuturan Pak Sulaiman. Mengapa begitu banyak kejanggalan di desa ini. Apa yang sebenarnya terjadi? Ahmad semakin gelisah. Ia sama sekali belum menemukan petunjuk satu pun untuk mengusut tuntas misteri yang ada. Justru kini, ia semakin kesulitan untuk mencari jejak, sebab kasus yang ia hadapi berubah-ubah.

"Kalau boleh tahu, Aisah itu siapa ya Pak?" Ahmad berpura-pura bertanya agar Pak Sulaiman tidak mencurigainya. Padahal sebelumnya, ia sudah mendengar nama itu dari Mbok Inah.

"Aisah adalah guru ngaji di sini, Mas. Dia sudah meninggal dua tahun lalu. Setelah itu, tidak ada lagi yang mengajar anak-anak. Karena ..." Pak Sulaiman tiba-tiba saja menghentikan ucapannya ketika ada salah satu warga yang datang.

"Pak Sulaiman, kapan kita akan menggali? Nanti keburu siang Pak." Ucap Surip salah satu pemuda seumuran Popon.

"Ini juga mau ke sana, Rip. Saya juga mengajak Mas Ahmad untuk membantu menggali. Memangnya kurang berapa orang?" Tanya Pak Sulaiman. Ia sengaja menyudahi kalimatnya sebab takut ketahuan Surip. Karena semua warga desa Giung Agung, sepakat untuk merahasiakan kasus Aisah.

"Kurang tiga orang, Pak. Semoga saja bisa cepat selesai dengan orang seadanya." Jawab Surip.

"Ya sudah, ayo kita ke kuburan sekarang!" Titah Pak Sulaiman. Ia menepuk bahu Ahmad, berusaha memberi kode agar pemuda itu menurut padanya tanpa bertanya.

Ahmad mengangguk. Kemudian ikut berjalan menuju makam.

"Nanti, akan saya ceritakan lagi, Mas. Datang saja ke rumah," bisik Pak Sulaiman ketika Surip sudah melangkah terlebih dahulu.

"Baik, Pak." Balas Ahmad.

Dua jam kemudian, pemakaman jenazah Popon berjalan dengan lancar. Seketika itu pula, Pak Heru tiba di desa. Ia langsung menyambangi kediaman Popon saat mengetahui pemuda itu meninggal dunia.

Pak Heru benar-benar merasa kehilangan. Ia tak berhenti menyalahkan diri sendiri, sebab tidak langsung pulang semalam. Pak Heru sudah menganggap Popon seperti anak kandung sendiri. Ia terlihat menangis di depan makam Popon.

JALAN PULANGWhere stories live. Discover now