Bab 46

537 31 11
                                    

"Sur!" Panggil seseorang dari arah belakang. Suryono memutar badan.

"Kembalilah, ada tugas untukmu."

Suryono mengangguk cepat. Ia hanya melirik ke arah Sobirin, dan berjalan keluar dari tempat itu.

"Bersikaplah yang baik padanya, kau tidak boleh seperti itu. Kita semua di sini, sama. Jangan seenaknya, kamu itu bukan siapa-siapa." Ucap orang tersebut.

"Saya tahu, tapi sikap Suryono memang sudah keterlaluan. Saya hanya ingin dia sadar, bahwa saya adalah teman yang baik. Tapi, dia sama sekali tidak peduli." Balas Sobirin sambil mendongakkan muka. Linangan air mata masih ia tahan.

"Apa rencana kita berhasil?" Tanya orang itu.

"Suhadi sudah masuk perangkap, tinggal satu orang lagi, anak perempuannya." Jawab Sobirin.

"Katakan pada Kiai gadungan itu, saya menunggu kabar baik darinya. Kalau tidak kunjung ada, lenyapkan saja dia. Lelaki tua tidak berguna!" Orang tersebut terlihat tersenyum. Tetapi, dengan tatapan tajam.

"Sepertinya, dia sudah tidak diperlukan lagi. Saya muak dengan orang munafik seperti dia. Lagipula, sudah waktunya dia istirahat." Kata Sobirin.

"Itu terserah kamu. Toh, kalian serupa. Jadi, kalau pun ada yang mati, tidak akan ada yang tahu. Terutama para santri bodoh itu. Mereka benar-benar tidak sadar, kalau sudah ditakdirkan menjadi tumbal." Timpal orang yang mengajak bicara Sobirin.

"Bagaimana keadaan desa, apa semua baik-baik saja?" Tanya Sobirin.

"Semua terkendali sesuai rencana. Orang-orang itu sudah berhasil melenyapkan musuh-musuh kita. Saya tidak menyangka jika Inah begitu ambisius untuk memperbanyak keturunan. Untungnya, gadis itu membawa kedua pemuda yang diperintah saudaramu, keluar dari desa. Kalau tidak, pasti kita akan jauh lebih sulit mengalahkannya." Jawabnya.

"Baguslah. Sekarang tinggal mengeksekusi para munafik di sini. Dan rencana kita sebentar lagi berhasil." Ucap Sobirin. Ada yang berbinar dari sorot matanya. Harapan untuk kembali seperti dulu, begitu besar. Mengharap jalan pulang yang ia tempuh, tidak begitu terjal dan berliku. Namun kenyataannya, semua jalan tak semulus yang ia kira. Harus melewati berbagai tanjakan, turunan, belokan, dan juga terpaksa putar arah mencari rute lain.

***

Allahu Akbar ... Allahu Akbar ...
Allahu Akbar ... Allahu Akbar ...

Sayup-sayup dari kejauhan lantunan suara azan menggema. Suasana di pondok begitu dingin. Udara yang mengembus sepoi seakan menusuk tulang kering. Seluruh anggota tubuh menggigil. Padahal embun fajar tidak sedang berkabut kali ini. Hanya saja, hawa dingin seakan betah berlama-lama di sana.

Para santri yang berkumpul di aula pun kedinginan sejak semalam. Pemudanya terlihat menyelimuti tubuh mereka dengan sarung. Sementara para gadis, tampak mengenakan mukena masing-masing. Ada rasa cemas yang berlebih, ada rasa takut yang hinggap. Keinginan untuk pulang, semakin membesar. Tetapi, apa daya, para pengurus belum memberi perintah untuk pulang saat ini. Mungkin, nanti.

"Assalamu'allaikum,"

Suasana yang hening, tiba-tiba pecah saat mendengar seseorang datang mengucapkan salam.

"Wa'allaikumussalam,"

Para pengurus begitu sumringah melihat kedatangan orang yang baru saja tiba.

"Abah," Amara berlari menuju sang bapak. Segera ia memeluk lelaki sepuh itu dengan derai tangis.

"Ada apa, Nduk?" Tanya Kiai Sobirin.

JALAN PULANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang