UNDANGAN

4 1 0
                                    

Tangisan sendu berkeliaran membentuk duka nestapa sampai kapan pun tak bisa dilupakan. Mungkin butuh waktu seumur hidup guna menghilangkannya, tetapi tidak semudah membalikkan telapak tangan.

Luka itu seperti dijahit, ditempel secara permanen tak bisa dihilangkan begitu mudah. Seiring banyak waktu terlewati kejadian bak bom atom tidak bisa dihapuskan dan akan meledak kapan pun itu.

Di tempat berbeda, Xena tiba di sebuah hiburan malam. Atmosfer di sana sangat bising dan ramai akan orang-orang tengah dimabuk kesenangan dunia nestapa.

Lampu disko sebesar bola basket menggantung gagah di tengah-tengah lautan manusia menunjukkan cahaya menyilaukan dengan berbagai warna.

Gerakan-gerakan erotis baik wanita maupun pria melonjak satu sama lain mengikuti irama musik menggebu.

DJ wanita berpakaian minim di hadapan mereka terus menyuguhkan musik-musik keras guna menghangatkan suasana dan membangkitkan semangat.

Ia pun turut menggerakkan tubuh sintalnya, mengikuti nada-nada yang tidak henti-hentinya dimainkan. Gelas-gelas berisi minuman beralkohol beraneka warna pun diberikan oleh sang bartender menemani para pengunjung terus berdatangan.

Semua kalangan bercampur jadi satu menikmati kelamnya dunia. Mereka sama sekali tidak mengindahkan hal-hal yang seharusnya dijauhi.

Tidak lama berselang pintu lantai atas dibuka lebar, Xena yang sudah mengenakan masker dan kacamata hitam memasuki ruangan bising tersebut.

Ia terus melangkah sambil memasukan kedua tangan ke dalam saku mantel. Tidak mengindahkan sekitar, kaki rampingnya terus berjalan menuju ruang pemilik klub malam itu.

Keriuhan akan suka cita di sekeliling sama sekali tidak diindahkan, orang-orang itu larut akan euforia suka cita melanda tanpa mengetahui kedatangannya.

Beberapa saat kemudian Xena tiba di ruangan yang dimaksud. Tanpa mengetuk pintunya terlebih dahulu, ia menarik handle begitu saja dan mendorongnya kasar.

Ia diam sejenak di ambang pintu ketika kedua netra jelaganya menangkap pemandangan tersaji di sana. Tepat di depan mata kepalanya sendiri, wanita yang selama ini sudah membesarkannya sedang bercumbu mesra bersama seorang pria.

Qiana dengan pria yang lebih muda beberapa tahun darinya sedang memadu kasih, menikmati dunianya sendiri tidak menyadari kedatangan sang anak angkat.

Wanita berumur setengah abad itu duduk di atas pangkuan sang kekasih sambil terus melakukan penyatuan. Kedua tangannya menekan kuat kepala prianya sambil terus melenguh mengudarakan kenikmatan.

Xena pun sadar dan acuh tak acuh berjalan lalu mendudukkan diri di sofa hadapan mereka,melipat kaki anggun.

Ia melepaskan masker dan juga kacamatanya, bak menonton drama romantis di televisi, ia menatapnya tidak mengatakan apa pun.

Tanpa emosi di wajah cantiknya, Xena tetap memandang lurus ke depan dalam diam.

Jengah akan keberadaan orang ketiga di sekitarnya, Qiana melepaskan ciuman dan melirik singkat wanita muda itu.

"Sungguh tidak menyenangkan sama sekali. Apa kamu tidak tertarik dengan hubungan seperti ini?" ucap Qiana setelah melepaskan ciuman panas tadi.

Kedua tangannya bekerja sama menghapus jejak saliva menempel di bibir bengkak sang berondong, sedangkan tatapan matanya tidak lepas dari sosok Xena.

Sang anak angkat itu menyandarkan punggung ke kepala sofa panjang lalu memasukan popcorn ke dalam mulut.

Ia semakin acuh tak acuh dengan pertanyaan Qiana barusan. Kepalanya mendongak memandang lurus ke langit-langit ruangan.

Nuansa temaram sangat cocok bagi setiap pasangan untuk memadu kasih bersama. pantas mereka tidak bisa menahan hasratnya sendiri, pikir Xena.

"Aku sama sekali tidak tertarik dengan apa pun lagi, selain balas dendam tentunya," balas Xena cuek, kembali menoleh ke depan.

Qiana menghela napas kasar lalu bangkit dari pangkuan kekasih kecil. Ia kemudian menjatuhkan diri di samping Xena tanpa mengalihkan kedua mata ke manapun.

"Itu saja yang ada di otakmu, selama bertahun-tahun tidak ada yang berubah?" tanya Victor pria yang menjadi kekasih Qiana.

Xena mendengus pelan menjawabnya, Victor juga tahu seperti apa dirinya selama ini. Karena sudah bertahun-tahun, Qiana dan pria itu menjalin hubungan.

"Dasar maniak, kalau begitu aku tidak akan mengganggu reuni ibu dan anak, selamat bersenang-senang." Victor berusia tiga puluh sembilan tahun itu pun angkat kaki dari ruangan memberikan waktu sendiri bagi keduanya.

Qiana lalu melambaikan tangan menemani kepergiannya. Baru saja pintu ruangan ditutup, wanita baya itu bangkit lagi kemudian berjalan menuju meja bundar tidak jauh dari pintu masuk.

Di sana berdiri beberapa botol minuman beralkohol, mulai dari yang termurah sampai termahal tersaji lengkap.

Ia lalu memasukkan dua es berukuran bola tenis ke masing-masing gelas dan menuangkan salah satu minuman favoritnya.

Qiana membawa dua gelas tadi menuju Xena dan menyodorkan salah satu padanya. Penari yang baru naik daun itu menerima dan menggoyang-goyangkan nya lalu mengendus aromanya singkat.

"Sebelas tahun aku membesarkan mu dan tujuh tahun kamu berada di negara orang, benarkah tidak ada yang menarik hatimu selain... obsesi balas dendam?" tanya Qiana lagi, masih berdiri di hadapan Xena penasaran juga akan kisah sang anak angkat.

Xena menggeleng menjatuhkan pandangan ke air keruh dalam genggaman. "Semua mimpiku sudah mati bersama orang tuaku malam itu. Tidak ada alasan bagiku untuk tetap hidup, selain membalaskan dendam."

Qiana menyaksikan Xena menggenggam gelas minuman dengan sangat kuat, seolah mencengkram musuhnya dalam sekali tebas.

"Em... aku tahu dan sudah mengenalmu lebih lama dari orang tuamu, kan? Meskipun aku tidak melahirkan mu, tetap saja... kamu adalah anak gadisku," kata Qiana membuat Xena mengulas senyum simpul.

Terlalu rumit hubungan mereka juga, tidak ada kasih sayang layaknya ibu dan anak sebenarnya. Namun, meskipun begitu baik Xena maupun Qiana selalu memperhatikan satu sama lain. Itulah bentuk dari kasih sayang mereka.

"Baiklah, kamu cukup beruntung. Tadi malam Victor memberikan undangan dari Keluarga inti, bisa dibilang... keluarga utamanya Victor."

Qiana kembali melangkahkan kaki dengan anggun, dress panjang dengan belahan hingga ke paha memperlihatkan kulit mulusnya menuju samping mereka.

Ia menyambar undangan mewah yang tergeletak di sana kemudian menyodorkannya pada Xena.

"Itu undangan dari Tetua Villia langsung. Di mana dua hari lagi di kediaman utamanya akan di adakan pesta besar-besaran. Semua orang-orang penting di negara ini diundang, kamu... tahu apa yang harus dilakukan, bukan?" jelas Qiana.

Xena membeku di tempat sambil menatap undangan di tangan wanta paruh baya itu. Kedua matanya bergetar seolah tujuan selama bertahun-tahun tepat di depannya.

"Em, aku tahu apa yang harus dilakukan," gumamnya dengan suara dalam nan tajam.

Qiana hanya mendengus kasar dan menyesap minumannya singkat. Ia tahu apa yang sedang dipikirkan anak angkatnya ini.

"Benar-benar hanya terobsesi pada dendamnya saja, tetapi... anak manapun pasti akan melakukan hal yang sama ketika melihat orang tuanya dibunuh tepat di depan mata, kan?" benak Qiana mengetahui masa lalu Xena.

Tidak mudah hidup dengan bayang-bayang masa lalu, tetapi Xena membuktikan padanya bisa melewati itu semua dengan satu tujuan, yaitu membalaskan rasa sakit pada sang pelaku.

Sedari tadi Qiana tidak melepaskan pandangan dari Xena yang terus mengamati undangan itu seraya tersenyum penuh makna, sedetik kemudian kedua sudut bibir merah bata nya ikut mengembang.





*Terima kasih banyak sudah mampir dan meninggalkan jejak 🙏🏻😊

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 20 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Obsesi Balas DendamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang