BAG 03

2 2 0
                                    

AKAR HITAM
.
.
.
.

"Ibu, mana ayah?" aku bertanya pada ibuku perihal keberadaan ayahku.

"Adrian, ayahmu sudah meninggal. Ibu terlambat menyelamatkan ayahmu. Maafkan ibumu ini nak." jawab ibu dengan suara terbata-bata diiringi isak tangis dan air mata yang menetes keluar dari kedua matanya.

"Mana jasad ayah, bu?" tanpa kusadari air mataku mulai menetes.

Sembari mendekati ibuku dari arah sebelah kanan, aku mulai merasakan tenggorokanku menjadi kering.

Tubuhku seketika menjadi dingin, dan jantung di dalam dadaku berdetak lebih kencang dari sebelumnya.

Meski ayah dan ibu sudah mempersiapkan diriku akan adanya kemungkinan terjadinya hal buruk seperti ini, namun hatiku menolak kenyataan yang sedang kuhadapi saat ini.

Kehilangan seorang ayah, bukan sebuah hal yang menyenangkan. Tiap manusia yang memiliki orang tua, pasti pernah atau paling tidak akan mengalami bagaimana rasanya kehilangan orang tua. Tapi tidak dengan cara seperti ini.

Dengan telapak tangan kananku, perlahan aku menekan pangkal bahu ibuku yang sudah tidak berlengan.

Aku mulai mengatur nafasku agar aku bisa lebih tenang dan bisa segera menyelamatkan ibuku.

Tanpa kuinginkan, secara tiba-tiba mulutku dengan suara lirih mengucap rangkaian kata yang merupakan mantra tahap kedua dari ajian rogo mego sukmo bayu.

"Ingsun matek aji rogo mego sukmo bayu. Sun sumebyarake sih'ing ratu marang sliramu. Wulu, kulit, daging, balung, sungsum podo tumtumo, otot podo milio. Sun nimbali tumekane rogo lan sukmo, teko marang ingsun. Kang pedhot bali wutuh, kang sirno bali ono, sembodo. (Aku menggunakan ilmu tubuh awan jiwa angin. Aku meminta bagimu, belas kasihan dari Yang Maha Kuasa. Rambut, kulit, daging, tulang, sumsum, menyatulah. Aku memanggil datangnya tubuh dan jiwa, datanglah kepadaku. Yang putus kembali utuh. Yang musnah kembali ada, jadilah)."

Sesaat setelah membaca mantra, sinar tipis berwarna kebiruan mulai menyelimuti tangan kananku.

Dan sinar tipis berwarna kebiruan itu perlahan mulai hinggap di pangkal bahu ibuku dan kemudian berpendar membungkus rapat seluruh bagian tubuh ibuku.

Seisi ruangan dipenuhi oleh cahaya biru bernuansa mistis. Darah yang tadinya deras menetes keluar, perlahan terhenti karena berbenturan dengan arus darah yang masuk dari arah luar tubuh ibuku.

Genangan darah yang berada di seluruh bagian rumah, mulai bergejolak seperti air yang mendidih saat dimasak diatas bara api.

Kemudian genangan darah itu saling berpisah satu sama lain. Dari beberapa arah didalam ruangan, sebagian darah yang sudah terpisah dari genangan segera bergerak ke arah ibuku dan masuk ke dalam tubuh ibuku melalui pangkal bahu kanannya.

Aku melihat di ujung ruangan, tangan kanan ibuku yang putus hingga ke batas bahu kanan, bergerak perlahan mendekat ke arah kami sambil tetap dalam kondisi menggenggam sebuah kapak berwarna hitam legam.

Terdengar suara berderit sangat keras sesaat setelah aku menginjak pedal rem mobilku, disusul oleh caci makian beruntun dari pengendara sepeda motor yang hampir saja kutabrak.

Aku tersadar dari lamunanku tentang masa laluku yang sangat menyedihkanku, kemudian aku memberi tanda dengan telapak kanan terbuka menghadap ke arah depan diiringi dengan anggukan lembut dan senyuman di wajahku.

Sembari menunggu respon dari orang yang hampir kutabrak, sambil tetap duduk di dalam mobil aku merutuk diriku sendiri karena telah bersikap ceroboh.

Aku melihat pria pengendara sepeda motor itu memarkir kendaraannya dan datang menghampiriku dengan ekspresi wajah yang penuh amarah.

Sosok tinggi besar dengan wajah yang menyeramkan, pastinya membuat siapa pun akan kehilangan keberanian bila berhadapan dengan pria yang saat ini sedang menggedor kaca jendela sebelah kanan mobilku menggunakan tangan kanannya yang terkepal erat.

Bisa kurasakan aura pembunuh keluar dari tubuh pria tinggi besar yang sedang marah itu.

.
.
.

TO BE CONTINUED

AKAR HITAMWhere stories live. Discover now