BAG 01

9 3 0
                                    

AKAR HITAM
.
.
.
.

Tiada yang tahu seperti apa dan bagaimana takdir kehidupan yang akan dijalani oleh seorang manusia. Begitu juga dengan takdir yang sedang kujalani ini.

Takdir yang mengantarku menjadi seorang pendiri organisasi rahasia yang beranggotakan para manusia pilihan berkemampuan unik dan hanya ada di dalam dongeng sebelum tidur.

Akar Hitam, itu adalah nama organisasi yang kubangun 15 tahun yang lalu dan masih beroperasi hingga saat ini.

Namaku, Adrian Buwono. Aku biasa dipanggil -Pak Adrian- oleh semua orang yang mengenalku, dan ini adalah kisahku.

Saat itu aku berusia 16 tahun. Saat dimana seorang manusia mengalami awal dari masa keemasan di dalam hidupnya.

Masa dimana seorang remaja masih mendapatkan perhatian dan kasih sayang penuh dari ayah dan ibunya. Namun, kehidupan tidak selalu manis seperti yang diharapkan.

Bagai air laut yang mengalami pasang surut, begitu juga kehidupanku yang diwarnai dengan kebahagiaan dan kesedihan yang datang silih berganti.

Masih membekas kuat di ingatanku akan kejadian mengerikan yang merenggut nyawa seluruh anggota keluargaku.

"Duarrr!!!" suara letusan yang memekakkan telinga terdengar bergema di dalam ruang keluarga yang berada setelah memasuki pintu utama rumah.

"Mas Bambang...!!!" Aku mendengar ibuku berteriak histeris sambil menangis serta berulang kali memanggil nama ayahku.

Saat itu pula aku merasakan kesedihan yang amat dalam. Kehilangan yang tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata.

Dengan cara merayap di lantai yang penuh dengan genangan darah, aku bergerak merayap perlahan-lahan melewati jasad Mbok Darmi (pembantu di rumah kami) yang sudah meninggal dengan kondisi jantung terkoyak keluar.

Di sebelah jasad mbok darmi, ada dua potongan kepala milik Pak Amir dan Pak Santoso (keduanya adalah pengawal pribadinya ayahku).

Aku semakin ketakutan melihat potongan kepala mereka itu. Karena meski tidak banyak yang kuketahui tentang latar belakang Pak Amir dan Pak Santoso, namun aku pernah menyaksikan sendiri kehebatan mereka berdua saat berkelahi maupun di saat mereka menggunakan senjata tajam atau senjata api.

Sangat sulit untuk merobohkan apalagi membunuh mereka berdua yang kulit tubuhnya tidak bisa ditembus oleh benda keras dan tajam.

Aku masih ingat saat mereka berdua masih hidup, saat dimana mereka datang untuk pertama kalinya ke rumahku untuk tujuan meminta pekerjaan kepada ayahku.

Waktu itu ayahku menguji kemampuan mereka berdua dengan cara menembak tubuh mereka berdua dengan senjata api. Namun Pak Amir dan Pak Santoso malah tertawa.

Aku masih ingat saat Pak Amir meminta senjata api itu dari tangan ayahku kemudian memasukkan moncong senjata api itu kedalam mulutnya sendiri dan kemudian dengan cepat menarik pelatuk senjata api tersebut.

Terdengar suara letusan yang sangat keras setelah Pak Amir menarik pelatuk senjata api itu.

Aku terkesiap melihat hal itu sampai aku memejamkan mata dan celanaku basah karena melihat hal yang sangat menakutkan dan diluar nalar itu.

Bukannya roboh oleh senjata api di tangannya sendiri, melainkan senyum penuh kebanggaan yang terpampang di bibir Pak Amir selepas menarik keluar moncong senjata api dari dalam rongga mulutnya, dan diikuti dengan sebutir peluru yang diludahkan dari dalam mulutnya.

Tak lama kemudian kudengar ayahku berkata "Hebat. Pak Amir benar-benar sudah mampu manunggal (menyatu) dengan ajian tameng wojo."

"Pak Santoso pasti juga menguasai ajian tameng wojo dengan sempurna. Apa benar yang barusan saya katakan, Pak Santoso?", tanya ayahku kepada pak santoso.

"Anda benar, Pak Bambang", sahut pak santoso sambil tersenyum.

Dan masih jelas di ingatanku saat ayah bercerita tentang asal-usul Mbok Darmi yang bekerja menjadi seorang pembantu di rumah kami.

Mbok Darmi adalah seorang pamujan (pemuja) kuntilanak yang bersarang di lereng gunung lawu.

Kisah hidupnya yang tragis karena menjadi korban pemerkosaan di sekitaran alas roban telah menjadikan Mbok Darmi sosok manusia yang ganjil.

Yaitu sosok manusia yang berani menjual jiwanya kepada Ratu Kuntilanak yang bersemayam di lereng gunung lawu, demi membalaskan dendamnya kepada orang-orang yang telah memperkosanya.

Setelah berhasil membalas dendam, Mbok Darmi yang saat itu masih berumur 20 tahunan mulai lepas kendali dan semakin dalam menapakkan kakinya ke dalam lembah kenistaan.

Dengan menyandang kekuatan yang diberikan oleh Ratu Kuntilanak, Mbok Darmi yang dikemudian hari lebih dikenal sebagai Nyi Wenang Sedo (Benang Kematian) mulai memintal maut di seluruh tanah jawa ini.

Hingga suatu ketika Mbok Darmi harus berhadapan dengan Nyi Laras yang tak lain adalah almarhumah nenekku dari pihak ibuku.

Mbok Darmi bentrok dengan mendiang nenekku, karena saat itu Mbok Darmi kepergok hendak mencuri secara gaib sebuah daun lontar milik seorang Maha Resi yang berdiam di pulau Bali.

"Ayah, apa yang istimewa dari sebuah daun lontar hingga saat itu mbok darmi sampai harus berhadapan dengan nenek?", tanyaku kepada ayahku.

"Daun lontar itu bukan sebuah benda biasa. Jika dinilai dari sisi sejarah maka daun lontar itu adalah sebuah benda peninggalan sejarah yang tidak ternilai harganya dikarenakan faktor usia dan muatan ilmu pengetahuan yang tertera di daun lontar itu." Ayahku mulai menjelaskan padaku tentang sejarah dari daun lontar tersebut.

"Ayah pernah melakukan uji karbon terhadap daun lontar itu untuk mencari tahu berapa usia dari daun lontar tersebut. Apa kamu tahu berapa usia dari daun lontar itu?" Kemudian ayah menatap kearahku dengan sorot mata teduh penuh kedamaian sambil menghela nafasnya sendiri.

"Aku tidak tahu, ayah." Aku segera menyahut sambil berharap ayahku segera melanjutkan ceritanya.

.
.
.


TO BE CONTINUED

AKAR HITAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang