4. Kekacauan Besar

42 6 1
                                    

"Janji, ya. Biarpun nanti Kakak udah tinggal sama Mas Adam, tetep harus sering main ke sini. Nginep juga, jangan cuma lewat sebentar. Terus, tidurnya sama aku. Tapi, Kakak harus izin dulu sama Mas Adam. Aku gak berani ngomong langsung, takut gak diizinin."

Setelah sekian lama, akhirnya Elea bisa merasakan tidur di ranjang adiknya. Ini adalah malam terakhir Elea menyandang gelar lajang. Mulai besok, ia akan menjadi istri dari Adam Said Mubarak. Elea juga akan pindah ke apartemen mewah yang sudah Adam beli. Bangunan yang telah menemaninya tumbuh selama 15 tahun terakhir hanya akan menjadi rumah keduanya nanti.

"Kalau Kakak ada pemotretan di luar kota, jangan lupa kasih tahu aku, ya? Biar kita bisa ketemu dulu, kangen-kangenan dulu. Syukur-syukur pas aku libur, jadi bisa ikut. Eh, emang Mas Adam bakal ngizinin?"

Dengan tangan yang masih memeluk tubuh ramping Elea, gadis itu menengadah. Sungguh, dari sisi mana pun, Elea selalu terlihat cantik. Tidak ada lemak berlebih di kedua pipinya. Tidak ada gelambir di bawah tulang rahangnya. Bahkan, perutnya pun rata, tidak ada lipatannya. Semua itu sangat berbanding terbalik dengan Yasmine.

Namun, sekalipun Yasmine sempat salah fokus, kini ia sadar bahwa kakaknya sedang melamun. Elea tidak menjawab kalimat panjang lebar Yasmine sejak tadi. Pandangannya juga tampak kosong, seperti sedang merangkai benang kusut di dalam kepalanya.

"Kak?" Yasmine mengguncang bahu sang kakak.

Elea tersentak. Dia melirik ke arah Yasmine dengan mata yang mencuat setengah. "Hah? Ya? Kenapa?"

Gadis itu mengembuskan napas panjang. "Kakak gak dengerin omongan aku, ya?"

"Dengerin, kok."

"Coba, tadi aku ngomong apa?"

"Emm ... kamu ...." Mata Elea bergerak ke sana kemari, berusaha mengindari tatapan penuh selidik dari adiknya. "Kamu minta dibeliin novel, kan?"

Saat itu juga, Yasmine langsung berguling, membentangkan jarak dengan tubuh Elea. Pandangannya lurus ke langit-langit kamar. Bibirnya mengerucut, sebal karena ucapan panjangnya hanya didengarkan oleh tembok kamar, bukan oleh Elea.

Baiklah, Yasmine akui. Dia memang cukup sering meminta dibelikan novel oleh Elea. Namun, tidak mungkin juga ia masih memikirkan lelaki sempurna yang hidup di dunia fiksi di saat kakaknya menikah besok. Ditambah lagi Elea sudah banyak melamun selama beberapa hari ini. Tidak mungkin Yasmine egois dan mementingkan kepuasannya sendiri di saat sang kakak terlihat tidak baik-baik saja.

"Kakak mikirin apa, sih? Seharian ini bengooooong terus. Makan juga makin sedikit. Diajak ngobrol juga suka gak fokus." Yasmine bersuara setelah sekian lama diam. Ia berbalik, kembali menatap sang kakak. "Kakak gak lagi berantem sama Mas Adam, kan? Semuanya baik-baik aja, kan?"

Untuk beberapa saat, Elea hanya menatap Yasmine. Matanya bergerak memindai setiap lekukan wajah adiknya itu, seperti sedang merekam pemandangan yang ada di hadapannya. Lalu, ia tersenyum dan berkata, "Kakak gak apa-apa, kok, Yas. Biasa, lah, gugup menjelang pernikahan. Kakak sama Adam juga gak ada masalah, kita baik-baik aja."

"Bener?"

Elea terkekeh menerima tatapan penuh selidik dari adik kecilnya itu. "Iya," singkatnya sembari mendekati tubuh Yasmine. "Makasih, ya, selama ini kamu selalu ada buat Kakak. Makasih udah selalu khawatir tentang Kakak. Kakak sayang banget sama kamu."

Dengan hati yang hangat, Yasmine kembali memeluk kakaknya. "Aku juga sayang banget sama Kak Elea."

Tangan kiri Elea membalas pelukan erat sang adik. "Nanti jadi anak yang baik, ya. Kalau kamu ngerasa ucapan sama tindakan Mama udah keterlaluan, jangan ragu buat ngomong. Ingetin Ayah juga buat bergaul sama bapak-bapak yang lain, jangan cuma bantu-bantu Mama di rumah."

Cinta untuk Yasmine [Ongoing]Where stories live. Discover now