66. Ayah dan Anak

123 12 3
                                    

Ayah dan anak itu melalui ruas jalan Tiwingan-Banjarbaru dengan mobil. Mereka saling berdiam diri. Pikiran mereka masih terganggu oleh kejadian penyerangan tadi. Bagaimana bila ada hal yang lebih besar lagi? Lantas bagaimana nasib mereka ke depan?

Mereka melewati belokan tajam. Ada orang berkerumun di situ. Jata memperlambat laju mobil. Di suatu area, terlihat bekas ban menyilang di aspal jalan, seperti sepeda motor yang mengerem mendadak.

Jata menepi, kemudian memarkir mobil tak jauh dari sana. Berapa orang yang berkerumun itu, sebagian adalah pekerja lepas bendungan.

"Pak Jata," sapa salah satu dari mereka. "Ada yang jatuh ke jurang. karyawan PLTA. Namanya Pak Asrul."

Jata langsung terbelalak. Ia mendekat ke jurang. Tak ada apa-apa di sana selain sepeda motor merah yang telah ringsek.

"Korbannya mana? Sendirian?"

"Sendirian. Sudah dibawa dengan ambulans ke rumah sakit."

"Bagaimana kondisinya?"

"Kurang tahu, Pak."

Jata meninggalkan lokasi dengan segera. Ia menelepon atasan Asrul. Lelaki itu membenarkan Asrul telah dikirim ke rumah sakit di Banjarbaru.

Jata segera melarikan mobil ke rumah sakit daerah. Di IGD, ia menemukan rekan-rekannya sesama pegawai PLTA.

"Jat, Asrul kritis. Koma," kata salah satu dari mereka.

"Sekarang di mana?"

"Baru CT-Scan."

Ibu Asrul terduduk lesu di kursi tunggu. Jata mendekatinya. Perempuan itu memeluk Jata sejenak, lalu kembali menangis.

"Kalau ada apa-apa dengan Asrul, atas nama dia Ibu meminta maaf kepadamu, ya, Nak Jata. Mohon jangan dibawa ke hati semua kesalahan anak saya."

Jata trenyuh. Ia kerap mampir di rumah Asrul dan diterima dengan ramah oleh wanita ini.

"Jangan begitu Bu. Semoga Asrul segera pulih seperti sedia kala."

"Semoga begitu. Kata orang-orang dia tadi mau pulang. Sampai sore Ibu tunggu tidak juga datang. Ternyata Ibu malah ditelepon teman sekantornya, dikabari kalau Asrul sudah masuk rumah sakit. Ibu mau pingsan rasanya. Cuma Asrul yang Ibu punya, Nak Jata," ratap perempuan itu.

Tak ada yang bisa dilakukan Jata selain menepuk-nepuk bahu wanita malang itu.

"Saya tadi mau menjemput Asrul ke rumah, Bu. Kami sudah janjian untuk mendatangi teman Asrul di Banjarmasin. Ibu tahu siapa teman Asrul yang pintar tentang hal hal gaib?" tanya Jata hati-hati setelah menunggu tangis wanita itu reda.

"Oh dia. Namanya Deka. Dia jualan beras di Pasar Kuripan. Mau apa Nak Jata pergi ke sana?"

"Asrul mengajak saya Bu. Katanya untuk konsultasi masalah kasus kemarin."

Ibu Asrul mengangguk kecil beberapa kali. Ia terlihat lega. Barangkali karena Jata sudah mau berkomunikasi dengan anaknya. "Oh iya. Deka itu baik. Dia benar-benar mau menolong, tidak pernah mau dibayar."

"Ibu tahu nomor teleponnya?"

Wanita itu menggeleng. "Asrul yang tahu. Tapi sekarang HP-nya pun hilang. Ibu cuma tahu nama toko berasnya. Namanya Deka juga. Coba Nak Jata cari di Pasar Kuripan, tanya sama orang-orang di situ."

Jata mengucapkan terima kasih. Sebelum pergi, ia menyelipkan amplop berisi uang di tangan perempuan itu. Ibu Asrul hendak menolak, namun Jata dengan tulus mendesaknya untuk menerima. Akhirnya, ibu Asrul mengucapkan terima kasih sambil menangis.

"Kita lanjut ke Banjarmasin?" tanya Jata kepada ayahnya.

Matias mengangguk. "Iya, lebih cepat lebih baik."

Setelah menempuh perjalanan sekitar 45 menit, akhirnya mereka tiba di daerah Pasar Kuripan. Tidak sulit menemukan toko beras Deka. Sayang, toko itu tutup. Tidak ada keterangan nomor telepon yang bisa dihubungi. Dari petugas parkir yang mangkal di depan toko, pemilik toko baru saja keluar.

Jata dan ayahnya pulang dengan tangan hampa.

♡♡♡

Deka melarikan mobil dengan tergesa. Ia merasa Asrul mengalami sesuatu yang buruk. Ia harus bersembunyi. Dirinya benar-benar belum siap untuk menghadapi masalah ini. Sangat mengerikan. Setelah menimbang beberapa kali, akhirnya ia mendatangi Vihara Buddhayana di Jalan Veteran. Ada seorang biksu di sana tempat biasa ia mengeluh.

"Deka, kamu tahu, apa yang kamu katakan pada temanmu? Jangan lari. Benar, kan?" Pria berusia empat puluhan itu tersenyum tenang menanggapi keluh kesahnya yang mengharu biru.

Deka merutuk dalam hati. "Apa tidak ada celah untuk menghindar? Saya ngeri."

Pria itu kembali tersenyum. "Ngeri? Kamu sudah tahu bagaimana hidup ini dimulai dan bagaimana bila berakhir."

Deka tertunduk lesu. Tentu saja ia tahu. Mempelajari karma dan reinkarnasi sudah ia lakukan sejak kecil.

"Selesaikan kewajibanmu dalam masa hidup ini. Bukankah itu yang terpenting?"

Deka membisu untuk beberapa saat. Tak ada lagi yang bisa dibicarakan. Dengan langkah lesu, ia berjalan keluar setelah berpamitan.

"Oh, ya, Deka," panggil sang biksu.

Deka membalikkan badan.

"Carilah istri," pesan sang biksu sambil mengedip penuh arti.

Mencari pasangan adalah hal yang dihindari oleh Deka. Ia malas saja menjalin hubungan. Semenjak membantu banyak orang menyelesaikan masalah mereka; istri-istri yang berselingkuh, suami-suami yang menduakan pasangan, anak-anak yang ditelantarkan orang tua, kasus Asrul, kepercayaannya pada lembaga pernikahan terkikis. Buat apa menikah bila akhirnya akan berpisah dan menyiksa anak-anak mereka? Lihatlah kedua orang tuanya. Dulu saling mencintai, sekarang bagai kucing dan anjing bila bertemu. Melelahkan.


/////////////

Bersambung minggu depan

Percobaan 44Where stories live. Discover now