52. Terjerumus

320 32 8
                                    


ASRUL terus khawatir dengan Jata sepanjang hari itu. Saat pulang, sebelum turun ke rumahnya di Desa Aranio, ia menyempatkan diri menjenguk sahabatnya. Namun, Jata belum pulang. Ia hanya bertemu Puput.

Supaya tidak dicurigai Jata kembali, ia menelepon lelaki itu terlebih dulu.

"Jat, aku di rumahmu. Mengantar ikan," lapornya.

Ia adalah petugas yang mengawasi lingkungan bendungan. Ia harus menjaga debit air agar mencukupi untuk menggerakkan turbin-turbin. Karena itu, pemantauan daerah aliran sungai Riam Kanan beserta anak-anak sungainya dan hutan pendukungnya harus dilakukan secara rutin. Saat pergi berkeliling itulah, ia kerap membawa pulang oleh-oleh berupa hasil bumi dari penduduk sekitar. Kali ini ia membawa pulang ikan mas hasil budidaya salah satu kenalannya.

"Makasih. Ada istriku di situ, kan?"

"Iya. Kamu nggak usah mikir macam-macam." Ia menelan ludah diam-diam. Andai Jata tahu mimpinya semalam, apa jadinya?

Jata terdiam sesaat. "Maaf soal tadi pagi. Nggak tahu kenapa, aku kacau banget akhir-akhir ini."

Asrul tertawa. "Aku paham, tanggung jawabmu besar. Kenapa belum pulang? Ada masalah lagi di powerhouse?"

"Yah, biasa. Masih mengurus masalah sinkronisasi."

"Kenapa lagi?"

Jata mendesah. "Kompleks. Yang jelas ada masalah di automatic synchronizer[1]. Nyaris bikin jebol semua."

Asrul tertawa getir. PLTA mereka tergolong kecil, kapasitasnya hanya 30 MW. Bandingkan dengan PLTA di Cirata, Jawa Barat, yang memiliki kapasitas 1.008 MV. Sudah kecil, kerap bermasalah pula, sehingga produksi tenaga listriknya terus menurun. Saat ini, produksi maksimal PLTA Riam Kanan hanya 20-22 MW saja.

Asrul menyerahkan ikan pada gadis mungil itu. "Kamu bisa menyiang ikankah?" tanyanya.

Puput mengenakan blus biru muda dan rok denim biru tua sebetis. Asrul langsung teringat mimpi semalam. Puput yang asli sama menggetarkan dengan Puput di dalam mimpi. Sebagai lelaki normal, matanya tak urung mengagumi keindahan ciptaan Tuhan itu.

Puput menatap ikan-ikan itu dengan setengah bingung. Ia selalu membeli ikan di pasar dan dibawa pulang sudah dalam kondisi bersih.

"Sini, aku bantu," kata Asrul.

Tanpa menunggu persetujuan Puput, lelaki berkulit sawo matang itu masuk, langsung menuju teras belakang. Di sana ia meminta Puput mengambil pisau dan talenan. Dua ekor ikan mas segera menjadi sasaran keterampilan tangannya. Puput hanya mengamati sambil bersimpuh di sebelah. Angin dingin yang berembus dari arah hutan membawa udara sejuk.

"Rumahmu enak banget ya, Put. Sejuk dan tenang."

"Iya, Kak. Aku seneng banget di sini." Diam-diam Puput senang ada orang lain bertandang. Paling tidak, kekesalannya pada sang suami sedikit terlupakan. Apalagi yang datang Asrul, pemuda periang yang penuh pengertian.

"Begitukah?"

"Iya. Kenapa?"

"Ah, enggak. Biasanya orang dari Jawa nggak kerasan di tempat sepi begini."

"Kak Asrul aneh. Nggak semua orang bisa disamakan begitu."

Asrul tertawa dan menoleh. Saat itulah matanya tertumbuk pada sepasang mata bening berbulu mata lentik. Jantungnya seperti dialiri listrik, berdenyut keras tiba-tiba. Sungguh sial. Matanya belum mau berhenti, dengan jalangnya turun ke bawah, ke sepasang bibir polos tanpa lipstik yang ranum kemerahan. Air liurnya mengalir deras dari tempat penampungan sehingga ia harus meneguk liur. Otaknya tiba-tiba ikut nakal, membayangkan betapa manis bibir itu bila dikulum.

Percobaan 44Where stories live. Discover now