25. Penumpang Hitam

540 47 12
                                    

"Masa gitu?" tanya Jata dengan nada tidak percaya.

Asrul hanya mengangkat kedua bahu sebagai jawaban. Keduanya kemudian terdiam. Bagi Jata, keputusan Asrul terasa tidak adil. Ia tidak tahu mengapa, tapi itulah yang terpikirkan. Mereka telah berpacaran selama lima tahun. Ke mana-mana bersama dan terlihat saling mengerti satu sama lain. Fitri seorang yang santun dan tidak bertingkah aneh-aneh, berbanding terbalik dengan Wina. Atau barangkali Fitri sangat baik melakukan sandiwara sehingga kekurangannya tertutupi dengan sempurna?

"Terus terang aku kaget. Selama ini Fitri kelihatan santun. Apa dia punya gejala-gejala 'nakal'?" Jata bertanya sekadar untuk mengusir keheningan.

Asrul menggeleng. "Nggak pernah. Makanya aku syok banget."

"Kalian sudah pacaran lima tahun. Kelihatannya sudah sehati. Apa nggak keterlaluan memutus hubungan cuma gara-gara masalah seperti itu?"

Asrul menatap dengan tajam. "Masalah seperti itu kok dibilang cuma? Itu masalah super penting, Bro! Masalah prinsip!"

Jata mengangkat bahu. "Perbuatan Fitri dulu memang salah. Tapi menurutku, semua orang punya masa lalu dan pernah salah. Coba kamu pikir, apa kurangnya Fitri sebagai calon ibu buat anak-anakmu?"

Asrul tidak menjawab. Matanya menerawang keluar.

"Dari segi pendidikan, dia oke. Dari segi pekerjaan, dia PNS, punya penghasilan tetap. Dari segi akhlak sekarang, dia juga baik dan religius. Yang penting dia sudah bertobat." Jata melanjutkan analisisnya.

"Religius sih religius. Tapi nggak perawan. Munafik!" Gerutuan meluncur dari mulut Asrul.

Jata terkekeh. "Kamu juga munafik kalau begitu. Kayak masih perjaka aja," selorohnya. "Yang dulu sering pakai sabun itu apa?"

Asrul menanggapi dengan tegang. "Aku kan laki-laki. Beda hukumnya dengan perempuan!"

Rahang Jata terkatup. Ia sadar telah membuat temannya marah.

"Kalau istrimu nggak perawan, gimana perasaanmu?" tantang Asrul.

Jata diam saja, malas menanggapi teman yang tengah emosi. Asrul belum puas.

"Atau jangan-jangan istrimu juga nggak perawan jadi kamu enteng saja soal keperawanan?"

"Hey, woles[1], Bro! Tenang dulu, jangan emosi. Istriku jelas sudah nggak perawan sekarang," bohong Jata untuk melunturkan suasana tegang. Ia menelan ludah dengan sangat malu saat mengucapkan itu.

Asrul tersadar. Rasa kesalnya menguap. Mereka tertawa bersama. Akan tetapi, pertemuan singkat itu membekas dalam benak Jata berhari-hari kemudian.

Perempuan dan keperawanan. Ah, mengapa pikirannya kini mengarah ke situ terus?

☆☆☆

Sepulang dari rumah Jata, Asrul mengendarai sepeda motor melalui ruas jalan yang menghubungkan kompleks PLTA Riam Kanan dengan Desa Aranio. Jalanan lebih lengang dari biasa, sehingga ia bisa menjalankan kendaraan dengan santai.

Sepanjang jalan itu, Asrul kembali memikirkan perkataan Jata tentang masa lalu. Ia tadi sempat emosi karena semua hal mengenai masa lalu memang memancing kekesalan. Tidak ada kenangan indah semasa kecilnya. Ia adalah anak kurus pendek yang menjadi sasaran olokan teman - teman karena tidak memiliki ayah. Ia bahkan dicap sebagai anak haram.

Asrul mendesah. Harus diakui bahwa masa lalunya memang gelap. Akan tetapi, apakah dengan itu ia harus mendapat seorang gadis yang tidak baik? Oh, Asrul tidak terima. Ia rajin beribadah, tekun mematuhi peraturan dan selalu menjaga diri baik-baik. Tidak rela rasanya mempersunting perempuan bekas orang lain. Bukankah lelaki baik hanya untuk perempuan yang baik pula?

Tiba-tiba kondisi cuaca berubah. Awan tebal dan angin kencang menyelimuti daerah itu. Suasana menjadi lebih gelap walaupun senja belum turun. Tak lama kemudian, angin benar - benar sangat kencang, bahkan beberapa kali membentuk pusaran di tengah jalan. Sepeda motor Asrul beberapa kali tergoyang dan nyaris kehilangan keseimbangan. Bulu kuduk Asrul berdiri tanpa tahu mengapa. Seiring dengan itu hatinya terasa nyeri sekali. Rasa sedih dan beban berat tiba-tiba menimpa begitu saja seolah kesedihan sepanjang masa hidup ditumpuk menjadi satu.

Kemudian, entah dari mana asalnya, Asrul merasa sepeda motornya berguncang, seperti bila ada orang yang naik ke sadel. Kemudian, gerak motornya terasa berat, seperti ada seseorang duduk di boncengan. Sepeda motor juga bergerak-gerak karena orang itu turut bergerak. Asrul semakin tercekam. Ia mengintip dari kaca spion. Ternyata tidak ada apa-apa. Boncengan itu kosong. Akan tetapi, seluruh tubuhnya merasakan kehadiran orang itu.

Akhirnya Asrul mempercepat laju kendaraan. Saat itulah ia merasa pundaknya disentuh. Otomatis ia menoleh ke kaca spion lagi. Matanya membelalak seketika. Sebuah tangan kurus hitam dengan jemari panjang tengah memegang bahu kirinya.

Asrul berteriak. Secara refleks, ia mengerem dan meminggirkan sepeda motor. Karena tergesa, ia turun dari badan jalan tanpa memperhatikan turunan yang curam. Ban sepeda motornya selip dan ia kehilangan keseimbangan. Motornya terguling. Sebuah mobil pickup melaju kencang dari arah belakang. Asrul nyaris terlindas mobil itu andai tidak dengan cekatan membanting setir ke bahu jalan. Ia jatuh menabrak tebing dan tertimpa sepeda motor.

Saat berada di bawah itulah, matanya sempat melihat mobil pickup yang nyaris menabrak. Di bagian belakang, duduk di pinggir bak, sesosok makhluk menatap tajam ke arahnya sambil menyeringai. Yang membuat Asrul tidak dapat tidur beberapa malam sesudahnya adalah mata makhluk itu merah menyala.

_____________________

[1] Woles = ungkapan gaul untuk "slow"
.

☘---Bersambung---☘

Percobaan 44Where stories live. Discover now