11. Perhatian

52 10 3
                                    

Rey keluar dari rumah sakit setelah dirawat empat hari. Seharusnya nggak lama, namun bocah itu sempat mengalami demam. Kendati rupanya demam tersebut disinyalir sebagai rangsangan bahwa Rey akan segera tumbuh gigi. Sekarang bocah cilik itu sudah sehat. Aktif seperti semula. Kabar buruknya, yang kurang sehat adalah keuangan Juno setelah membayar seluruh pengeluaran rumah sakit. Agaknya memang dia perlu menyiapkan dana darurat untuk situasi-situasi seperti ini. Rasanya baru kemarin saldo rekeningnya menyentuh angka dua digit, kini yang tersisa tinggal angan-angan saja.

Dera sudah menawarkan supaya mereka split bill untuk membayar tagihan ini, tapi Juno menolak. Dia nggak enak. Dera sudah ikut ngurusin, sampai cancel beberapa kerjaan, masa iya masih dia minta buat ikut bayar juga? Gila kali. Juno nggak mau.

"Ya udahlah." Juno mendesis pendek, enggan menyesali. Dimasukkannya kembali debit yang baru digunakan ke dompet. Yang penting Rey masih hidup, urusan uang bisa dicari lagi.

Juno bersiap kembali ke kamar untuk menyusul Rey dan Dera. Tadi saat dia tinggal, perempuan itu masih membereskan barang-barang Rey. Namun, langkahnya tersendat begitu ingin menaiki lift. Di sekitar situ, ramai sekali orang-orang berkumpul. Padahal seingat Juno, sebelumnya nggak sepadat ini. Yang membuat dia makin kebingungan adalah keberadaan sejumlah aparat polisi. Untuk apa mereka di sini? Kenapa kelihatan genting sekali?

"Oooh yang bunuh diri cewek? Pasien kah?"

"Katanya iya. Gila kali, kalau beneran terjun, apa nggak viral tuh?!"

Cuping telinga Juno bergerak-gerak, mencuri tangkap omongan yang lewat. Berita merebak dalam seperkian detik, menjadi kian panas ketika orang-orang yang awalnya ingin melintas seperti Juno jadi tertahan, ikut penasaran. Juno menyisih ke pojokkan, menghindar dari kerumunan. Dia bermaksud menghubungi Dera untuk memberi tahu kondisi terkini, tapi ternyata Dera sudah menelepon duluan.

"Ada trouble di sini." Belum membuka mulut, Dera telah berbicara. Suaranya seperti bisikan hingga Juno harus menekan ponselnya ke telinga agar bisa mendengar jelas. "Lo di mana?" tanya Dera.

"Baru selesai bayar, mau naik tapi nggak bisa," terang Juno. "Di situ rame juga?"

"Iya, pada keluar semua ini. Ngeri."

Masih ada banyak lift di area lain. Kalau nunggu pakai yang ini bisa-bisa malah lama. Kasihan Dera sama Rey. "Ya udah tunggu, gue pakai lift lain aja." Juno mematikan sambungan. Seingat Juno lift yang paling dekat ada di arah ruang farmasi.

"Minggir, minggir!"

Saat nyaris beranjak, tubuhnya terdorong oleh gelombang manusia, membuatnya sontak mengaduh karena kaki kirinya tak sengaja terinjak. Juno melompat kecil. Meringis merasakan jempolnya yang seketika ngilu. Kedua tangannya yang kosong maju menahan agar orang-orang di depannya nggak semakin menghimpit. Intruksi dari polisi menyebabkan keadaan justru kurang terkendali, terlebih saat pintu lift terbuka. Bunyi jepretan merajalela. Seolah-olah yang keluar artis papan atas. Padahal objek yang dituju ialah seseorang yang hampir saja bunuh diri.

"Sinting!" umpat Juno. Persetan jika ada yang tersinggung. Lagipula nampaknya nggak ada yang mendengar. Semuanya sibuk mengabadikan foto dan berbisik menggosip pada satu sama lain. Juno nggak habis pikir. Sampai polisi dan segenap perawat harus menyuruh mereka minggir supaya korban bisa lewat. Apa nggak keterluan?

"Tolong kasih jalan!" Seorang perawat perempuan yang mendampingi korban berseru tegas. Korban diapit agar terhindar dari mata-mata kamera. Kepalanya tertunduk ditutupi seutas kain. Melihat saja hati Juno mencelos, apalagi membayangkan ada di posisinya. Entah apa yang membuat perempuan ini sampai ingin terjun dari atap rumah sakit. Namun, dari lubuk hati Juno yang paling dalam, dia turut prihatin.

Juno's BabyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang