10. Yang Membekas

53 13 1
                                    


Met baca

***

"Ju, nanti kalau mau makan ambil di kulkas, ya, tinggal diangetin aja, terus kalau mau main, jendela sama pintu jangan lupa dikunci. Mama pergi dulu."

Biasanya Mama nggak akan repot-repot menunggunya menjawab iya untuk segera angkat kaki dari rumah. Biasanya sebelum dia sempat menyalimi Mama, mobil beliau sudah lebih dulu melenggang keluar halaman. Biasanya Mama berangkat satu jam lebih awal dibanding dirinya. Dan biasanya, dia sarapan sendirian.

Makan sendiri, menyiapkan buku sendiri, berangkat sekolah sendiri, pulang sendiri. Orang-orang dewasa-seperti para tante dan omnya atau nenek yang jauh di sana-akan menghujani dia dengan sebutan anak mandiri, tapi memangnya Juno punya pilihan lain? Memangnya dia bisa protes, jika seandainya dia ingin diantar atau sekali saja ditemani sarapan bersama?

"Kamu itu kayak anak kecil aja, Ju. Kamu kan bisa kirim videonya ke Mama, nanti Mama tonton. Kalau harus dateng, maaf Mama nggak bisa. Besok murid Mama ikut OSN di luar kota, Mama harus di sana dampingin mereka."

Juno memang masih kecil waktu meminta-dan berujung merengek-ke Mama untuk hadir di sekolahnya. Saat itu umur Juno lima belas tahun, dia bersama teman-teman SMK-nya mengikuti lomba film pendek tingkat nasional. Mereka menang dan sekolah memberikan reward berupa pemutaran film secara umum. Juno bebas mengundang dua sampai tiga orang untuk datang. Tapi saat itu yang dia punya hanya Mama... dan Mama lebih pilih bertandang ke luar kota, ketimbang menghadiri peluncuran filmnya. Itu kekecewaan utama. Masih ada kekecewaan lain, seperti saat Mama berkali-kali lupa mengambil rapotnya, atau Mama yang nggak bisa hadir di setiap dia wisuda dari SD sampai SMK. Akan semakin banyak jika terus Juno ingat-ingat.

Sejatinya, Juno memang anak kecil ketika dia mengharapkan sejentik perhatian. Tentu dia meminta itu dari Mama.

Mau siapa lagi? Papa?

Papa pergi dari rumah di umurnya yang ke sembilan. Beliau nggak pernah kembali lagi. Papa sering cekcok dengan Mama dan kabar terakhir yang Juno dengar, kini Papa tinggal di luar negeri setelah menikah lagi untuk yang ketiga kali.

Papa sudah bahagia.

Sementara Mama menyibukkan diri dengan sejuta kegiatan sebagai guru sekaligus PNS.

Lalu, Juno?

Juno... begini-begini saja. Kadang dia menghabiskan waktu dengan bermain basket, pernah hampir ditarik tim dan ikut kejuaraan, tapi karena tahu Mama nggak akan menyaksikan, dia biarkan kegiatan itu cuma jadi ajang main-main. Kadang juga mengulik film. Seseorang sangat ingin menjadi aktris dan dia pernah bilang akan mendirect langsung filmnya, namun bayangan Mama yang nggak akan pernah menyaksikan apa pun karya yang dia buat menggugurkan keseriusan itu. Jadi, ya sudah, yang penting dia hidup saja.

***

"Menurut gue, lo juga udah sayang sama Rey."

Juno yakin ini cuma rasa kasihan. Dia hanya berpikir... akan menyedihkan bila Rey tumbuh sendirian dan kesepian seperti dirinya. Bukan berarti sayang. Kalau sayang, dia akan berkorban banyak untuk Rey. Dia akan selalu mengutamakan Rey. Tapi, Juno sadar kok, masih sering ada momen dia lebih mengutamakan dirinya sendiri ketimbang bocah antah berantah itu.

Sepertinya Juno salah langkah. Pada akhirnya, kelak, Rey harus bisa bertahan sendiri. Nggak ada manusia yang bisa dijadikan tumpuan. Bahkan orang tua sekalipun. Sebab begitulah orang tua, mereka yang membawa ke dunia, mereka juga yang pertama menciptakan luka.

"Jangan lari-lari!"

"Awas!!!"

BRUK! Tubuh tinggi Juno terdorong mundur hingga terjungkal. Pantatnya langsung menyentuh lantai. Berdebam sangat keras. Itu belum seberapa dibanding perutnya yang nyeri, dihantam oleh kepala bocah laki-laki yang ikut jatuh bersamanya.

Juno's BabyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang