7/7

240 35 5
                                    


6. 30 AM

Joanna baru saja keluar kamar. Jantungnya berdebar setiap akan makan di rumah. Sebab rumah ini tidak pernah menjadi tempat yang nyaman untuknya.

"Kenapa belum sarapan, Non? Bapak dan yang lain sudah di dalam."

"Sebentar lagi, Bi."

Sumi pergi. Sedangkan Joanna mulai menarik nafas panjang sebelum sarapan hari ini. Sebab dia harus menyiapkan mental setiap pagi. Agar tidak menangis setiap hari.

Krek...

Joanna menarik kursi. Dia duduk tanpa menyapa siapapun di sini. Karena yang lain juga sudah fokus dengan kegiatan masing-masing. Hingga makanan tandas dan mereka pergi dari ruangan ini.

"Nanti sore jangan lupa jemput Acha, ya? Mama ada arisan."

Ucap Ana, istri Stevan. Sekaligus ibu kandung dari Acha. Namun ibu tiri bagi Joanna.

"Iya. Kalau meetingnya selesai lama, nanti Papa minta supir jemput kamu terlebih dahulu saja."

"Siap, Pa!"

Joanna yang belum selesai sarapan hanya bisa menatap mereka saja. Dia tidak pernah bergabung dalam percakapan jika tidak diminta. Sebab kedudukannya di sini tidak lebih hanya sebagai patung hidup saja. Karena kehadirannya memang tidak pernah diharapkan oleh mereka.

Iya. Joanna anak dari hasil perselingkuhan Stevan dengan wanita desa yang kini sudah memiliki kehidupan baru di luar kota. Joanna dulu hidup bahagia dengan ibunya di desa. Namun kebahagiaan Itu harus sirna karena ibunya menikah dan dia harus tinggal bersama Stevan.

Awalnya Joanna senang, karena akhirnya bisa bertemu ayah kandungnya setelah sekian lama. Namun kebahagiaan itu langsung sirna saat tahu jika Stevan tidak pernah menginginkan dirinya. Ditambah ibu dan saudara tiri yang tentu saja sangat membencinya.

Joanna merasa sedih. Dia merasa jika Tuhan tidak adil. Karena sejak kecil harus berjuang sendiri. Dibully karena tidak memiliki ayah dan sekarang harus menerima perlakuan dingin Stevan yang merupakan ayah kandungnya.

Namun setalah beberapa bulan berada di sini, Joanna mulai bisa beradaptasi. Dia mulai bisa menemukan kebahagiaannya sendiri. Dari orang-orang yang ditemui di luar rumah ini.

Seperti Meta dan keluarganya. Joanna benar-benar merasa beruntung karena bisa kenal mereka. Bisa sedikit merasakan hangatnya keluarga dan dianggap penting oleh mereka.

"Aku berangkat, Ma!"

"Ya, Sayang! Semangat belajar!"

Joanna melihat Acha yang berangkat sekolah dengan raut riang. Dia juga menggandeng lengan Stevan. Membuat gadis ini merasa iri tentu saja. Sebab dia juga ingin menggandeng ayahnya.

Setelah melambaikan tangan pada anaknya, Ana mulai menatap Joanna lama. Kemudian mendecih pelan sebelum akhirnya membuang wajah. Meninggalkan ruang makan tanpa sepatah kata. Seperti biasa.

Wajar kalau dia benci padaku.

Batin Joanna setelah menyelesaikan sarapan. Dia mulai bersiap berangkat. Naik angkot seperti bisa. Karena rumahnya memang ada di tepi jalan besar. Sehingga dia tidak perlu jalan jauh untuk mendapat kendaraan.

Paling tidak di sekolah aku punya teman.

Batin Joanna dengan senyum yang tersungging lebar. Dia menunggu angkot dengan raut senang. Karena tidak sabar bertemu teman-temannya dan juga Mega.

Hingga lima belas menit kemudian Joanna tiba di sekolah. Dia agak terlambat namun masih aman. Karena banyak murid yang baru tiba. Namun mereka berhasil lolos karena tidak ada yang menjaga gerbang.

Dengan langkah riang, Joanna mulai memasuki kelas. Namun saat tiba di dalam, dia justru mendapat tatapan aneh orang-orang. Padahal dia tidak merasa sedang melakukan kesalahan.

Ada apa ini?

Batin Joanna setelah melepas tas. Dia menatap Meta dan Hera yang duduk di depan. Mereka hanya diam saja. Tidak menyapa seperti biasa.

"Dasar anak haram penipu!"

Deg. Jantung Joanna berdebar. Dia langsung menatap Acha yang duduk di kursi paling depan. Dia fokus menatap buku seperti biasa. Tidak pernah menoleh padanya barang sekali saja. Seolah mereka bukan saudara dan tidak tinggal dalam satu rumah.

"Hei anak haram! Kita semua sudah tahu kalau kamu dan Acha tinggal satu rumah! Dasar pengganggu rumah tangga orang!"

"Anak haram! Anak haram!"

Joanna mulai ketakutan. Bukan karena ejekan mereka. Namun karena Meta dan Hera tidak bereaksi apa-apa. Sebab mereka pasti akan kecewa. Mengingat Joanna tidak pernah mengatakan yang sebenarnya dan telah berbohong terkait identitasnya.

Tidak lama kemudian guru datang. Dia mengajar seperti biasa. Namun Joanna tidak bisa fokus selama pelajaran. Karena dia terus memikirkan cara untuk meminta maaf pada Meta dan Hera.

Hingga jam istirahat tiba, Joanna berniat berbicara pada Meta dan Hera. Namun mereka sudah terlebih dahulu dijemput oleh guru olahraga. Karena harus mengikuti turnamen persahabatan di sekolah tetangga.

Saat jam istirahat, Joanna bergegas keluar kelas. Karena tidak ingin mendengar hinaan teman-temannya. Selain itu, dia juga ingin bertemu Mega. Ingin menjelaskan semuanya, sebab takut jika pria itu juga kecewa padanya.

Di lorong kelas Joanna melihat Jeffrey yang sedang membawa tumpukan buku tebal. Dia ingin menyapa. Namum pria itu langsung buang muka. Karena sedang dibisikkan sesuatu oleh salah satu murid di sampingnya.

Joanna yakin jika dia sedang dibicarakan. Membuat gadis itu langsung melangkahkan kaki di tikungan. Karena malu tentu saja.

Joanna mulai menangis di sana. Dia merasa jika hidupnya sudah hancur sekarang. Karena orang-orang yang selama ini dianggap sebagai teman dan bahkan keluarga mulai menjauhi dirinya.

Tiga hari kemudian.

Joanna selalu berangkat terlambat dan pulang paling cepat. Karena menghindari dicibir orang-orang. Mengingat Meta dan Hera sudah tidak mau berteman dengannya.

Karena saat berpapasan, dua gadis itu selalu membuang muka. Mereka tidak lagi beberapa pada Joanna. Apalagi berteman seperti sebelumnya.

"Silahkan pulang, hati-hati di jalan!"

Joanna berdiri dari duduknya. Bersiap pulang lebih awal. Mendahului teman-temannya lewat pintu belakang.

Setelah tiba di gerbang, Joanna melihat Mega dan teman-temannya di parkiran. Mereka akan pulang. Karena tidak ada kelas tambahan. Mereka juga melihat Joanna yang menatap mereka. Namun keempatnya diam saja. Tidak menyapa apalagi memanggilnya untuk sekedar basa-basi mengantarkan pulang seperti biasa.

Semuanya sudah berakhir. Memang tidak ada yang bisa menerimaku di dunia ini.

Batin Joanna sebelum pergi. Dia menahan tangis. Lalu berjalan cukup jauh hingga naik angkot warna putih.

Setibanya di rumah, Joanna langsung memasuki kamar. Dia mulai menelepon ibunya. Ingin mengatakan jika dia tidak betah tinggal dengan Stevan. Dengan air mata yang sudah membasahi wajah.

"Halo? Ibu, aku mau tinggal dengan Ibu saja. Aku tidak betah tinggal dengan Papa. Aku janji akan jadi anak baik———"

Ibu di sini kerja. Tidak punya tempat tinggal. Ibu dan Ayah masih ngontrak. Ibu takut kamu akan menderita karena hidup susah. Bertahan sebentar lagi, ya? Manfaatkan semua fasilitas yang Papamu beri sebaik mungkin. Jika perekonomian Ibu dan Ayah sudah membaik, kami janji akan menjemputmu sesegera mungkin.

Joanna yang mendengar itu hanya bisa semakin kencang menangis. Sebab dia benar-benar merasa tidak sanggup tinggal di sini lagi. Karena sudah tidak memiliki kesenangan baik di sekolah maupun di rumah sendiri.

Tbc...

SLOWBURN STORY (END)Where stories live. Discover now