CHAPTER 46

4 2 4
                                    

“Om ngapain di sini?”

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

“Om ngapain di sini?”

“Bukannya saya memang seharusnya ada di sini?” kata Akbar. Ah, iya, Arya lupa. Akbar itu dokter, memang sepantasnya dia ada di rumah sakit. “Oh iya, saya baru ingat, kemarin kamu ngajak saya ketemu, katanya mau ada yang dibicarakan. Soal apa?”

Arya mempersilakan Akbar untuk duduk terlebih dahulu agar lebih nyaman ketika mengobrol nantinya. Rupanya, janji dengan orang yang berjasa buat Arya mendatangkan reward. Setidaknya, dia bisa bertemu dan mengobrol bersama papa Kristina.

“Beberapa hari ini saya ke rumah buat ketemu sama Kristina, tapi Kristina-nya nggak ada. Rumah Om juga kelihatannya sepi, kayak nggak pernah ada orang.” Arya memulai obrolannya. “Saya hubungi Kristina juga nggak pernah ada respons. Kristina nggak apa-apa, kan, Om?”

Akbar berdeham, tidak langsung menjawab. Lelaki itu seolah sulit mengeluarkan kalimatnya. “Arya, saya nggak tahu harus bersikap kayak gimana ke kamu. Tapi saya rasa kamu berhak tahu soal ini. Kamu mau ketemu Kristina, kan?”

Arya langsung mengangguk.

“Ikut saya.”

“Ke mana, Om?”

Terdiam. Arya belum mendapatkan jawaban, tetapi Akbar sudah melengos pergi. Mau tidak mau Arya pun mengekor di belakangnya, melupakan tujuan awalnya datang ke rumah sakit.

***

“Kita mau ke mana, Om?”

Sama. Tidak ada jawaban. Entah ke mana Akbar akan membawa Arya, tetapi yang jelas selama perjalanan pun Akbar enggan bersuara. Lelaki itu hanya fokus pada setir mobil yang ditumpangi, melintasi jalanan yang searah dengan rumahnya.

Namun, sepertinya tujuan mobil itu bukan rumah Akbar. Mobil itu masuk ke gang sepi yang jarang sekali dilewati. Pepohonan rindang serta bunga-bunga bermekaran tumbuh di pinggir jalanan tersebut. Arya juga merasakan aura yang berbeda ketika mengikuti langkah Akbar.

“Om sebenarnya kita mau ke mana?”

Arya bertanya ketika langkah sudah setara dengan Akbar. Jantungnya berpacu cepat karena langkah Akbar berhenti di depan gapura dengan tulisan 'Tempat Pemakaman Umum'. Dia menoleh, menatap Akbar yang mencoba mengatur napasnya.

“Om kenapa ngajak saya ke sini?” tanya Arya lagi.

Akbar menoleh. “Kamu mau ketemu Kristina, kan? Ya di sini.”

Arya sedikit terkejut, tetapi dia kemudian terkekeh. Tidak mungkin. Ini pasti prank yang sudah Kristina susun sebagai kejutan di ulang tahunnya. “Om bercanda, kan?” tanyanya.

“Bercanda?” Akbar mengulang pertanyaan Arya. “Kematian bukan hal bisa dibercandin, Arya. Saya nggak bercanda. Saya serius. Lagi pula kamu datang ke rumah sakit untuk bertemu dengan seseorang yang udah donorin hatinya buat kamu, kan?”

Arya tidak menjawab, dia masih mencerna kalimat-kalimat yang keluar dari orang di hadapannya.

Akbar menelan salivanya. “Orang yang ingin kamu temui itu saya.” Kali ini Akbar berujar tegas. “Papa dari orang yang bersedia donorin hatinya buat kamu, Kristina.”

Deg! Jantung Arya seolah jatuh mendengar pengakuan Akbar.

“Ada tumor yang tumbuh di otaknya, dan tumor bisa diangkat melalui jalur operasi.” Akbar menjelaskan dengan suara yang jelas, tanpa tersedat sedikit pun. Entah butuh waktu berapa lama bagi Akbar untuk mempersiapkan hal ini. “Hmmmm... tapi Kristina menolak untuk dioperasi.”

“Dia bilang, dia mau dioperasi kalau kamu udah dapat donor hati,” lanjutnya. “Meskipun dia juga udah tahu resiko dari keputusannya. Bahkan saya sudah berulang kali memaksa dia, tapi dia tetap keras kepala. Sampai akhirnya... kamu sembuh, tapi anak saya pergi. Jauh ke tempat yang nggak bisa saya jangkau.”

Arya terdiam, seharusnya dia bisa lebih peka pada Kristina. Gadis itu bahkan sudah memberi Arya clue selama ini. Mulai dari tidak datang ke rumah sakit, jarang memberi kabar, bahkan saat operasi pun yang menangani bukan Akbar.

“Ikuti saya!”

Arya menurut, mengekor di belakang Akbar memasuki area pemakaman. Berulang kali air matanya jatuh, lalu segera disekanya. Mendadak kaki Arya serasa lemas kala langkah mereka berhenti, melihat Akbar berlutut seraya mengusap batu nisan pada makam di depannya.

Di nisan itu tertulis Kristina Putri Maheswari.

Seusai memanjatkan doa Akbar berdiri, menepuk pundak Arya lalu meninggalkan pemuda itu. Arya terduduk di tanah. Dia menangis, tidak menyangka jika Kristina meninggalkannya.

Inikah hadiah ulang tahun untuk Arya yang sudah Kristina siapkan? Pergi. Meninggalkan Arya.

“Arya....”

Arya menoleh karena ada seseorang memanggil namanya. Netra Arya menangkap Amara tengah berdiri, melepas kacamata hitamnya, lalu berlutut di sampingnya.

“Gue turut berduka, ya,” kata Amara. “Gue tahu semua ini berat buat lo.” Kotak merah muda Amara ulurkan pada Arya. “Dari Kristina. Dia nitip buat dikasih ke lo.”

Netra Arya menilik kotak itu, lalu menoleh. “Lo tahu semuanya, Mar?”

“Siapa aja yang tahu?” Arya kembali bertanya. Tangan kanannya masih setia mengusap nisan kekasihnya. “Yunita? Linda? Nyokap? Bokap? Orang-orang terdekat Kristina? Ck. Kayaknya cuma gue doang yang nggak tahu. Dan lo—juga ikut ngerahasiain ini dari gue?”

“Gue—”

“Kenapa, Mar?” potong Arya. “Kenapa lo—”

“Kristina yang minta.”

Kini Arya paham maksud ucapan Yunita tempo hari. Bukan Kristina yang beruntung memiliki Arya, tetapi Arya yang jauh lebih beruntung memiliki Kristina. Bayangkan, saat Kristina pergi pun gadis itu masih memikirkan Arya, meminta semua orang merahasiakannya.

Arya meringis sembari memijat keningnya yang terasa berat. Apakah di mata semua orang Arya selemah itu sampai-sampai mereka menuruti kemauan Kristina agar menyembunyikan semuanya dari Arya?

“Gue ke sini cuma mau nyampaiin itu, sesuai permintaan Kristina,” kata Amara. “Gue turut berduka cita. Gue tunggu lo di depan, ya.” Amara menepuk pundak Arya prihatin. Dia kemudian bangkit, meninggalkan Arya yang masih diliputi suasana duka.

Selepas kepergian Amara, Arya mengusap wajahnya yang penuh dengan air mata dan membuka kota merah muda di tangannya. Sebuah catatan kecil serta gawai dengan casing merah muda ada di dalamnya. Arya mengambil catatan itu, lalu membacanya.

Kamu adalah titik yang telah menjadi pengakhir cerita cintaku.

-Kristina-

Selanjutnya, dia membuka gawai milik Kristina dengan wallpaper foto mereka berdua. Air mata Arya kembali jatuh. Pemuda itu benar-benar berada di titik terendah, kehilangan sahabat, cinta pertama, sekaligus pacar pertamanya.

Rasanya, sangat menyakitkan.

BERSAMBUNG

KRISTINA [END]Where stories live. Discover now