CHAPTER 20

24 14 22
                                    

Pertama kali membuka mata, Kristina menangkap dua orang berpakaian dokter tengah berbincang serius dengan posisi membelakanginya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Pertama kali membuka mata, Kristina menangkap dua orang berpakaian dokter tengah berbincang serius dengan posisi membelakanginya. Kristina meringis karena rasa sakit menyerang kakinya saat mencoba membenarkan posisi. Bahkan, ringisannya membuat dua dokter itu menoleh sehingga Kristina bisa mengetahui wajah mereka.

“Tina Sayang, kamu udah sadar?” tanya Dokter yang faktanya adalah papa Kristina sendiri, lantas mengelus lembut puncak kepala putrinya. “Bilang sama Papa, apa yang kamu rasain sekarang? Mana yang sakit?”

“Kaki Tina sakit, Pa,” balasnya.

Kepala Akbar menoleh ke belakang, menatap wanita yang berpakaian sama seperti dirinya—di name tag-nya tercantum Dr. Rumi. Akbar seolah meminta penjelasan lebih lanjut kepada Rumi, sedangkan Rumi hanya mengangguk beberapa kali.

“Tina—” Terjeda, Akbar tidak kuat menghadapi kenyataan itu. “Tapi, Rum, Tina masih bisa sembuh, kan?” tanyanya memastikan. “Tina bisa jalan lagi, kan, Rum?”

“Kemungkinan terbesarnya, Tina masih bisa sembuh—mengingat dia tidak mengalami lumpuh permanen, tapi saya akan melakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk mengetahui hasil akhirnya,” terang Rumi. “Untuk sementara waktu, Tina dianjurkan memakai kursi roda agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.”

“Lumpuh?”

Perhatian Kristina yang semula terpusat pada kaki beralih ke Akbar, seolah meminta penjelasan apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya. Netranya diarahkan ke kaki bertutup selimut rumah sakit, kedua tangannya menutup mulut. Dia syok.

“Papa bohong, kan, sama Tina?” tanya Kristina, lalu berpaling ke Rumi. “Dokter Rumi juga bohong, kan?”

Hening.

“Jawab Tina, Pa! Papa bohong, kan?”

Nada bicaranya meninggi karena Akbar bergeming. Lantas, lelaki itu mendekap tubuh Kristina untuk menenangkan sehingga Kristina berpikir bahwa ucapan Akbar bukanlah delusi.

“Nggak mungkin, Pa, nggak mungkin!”

“Tina Sayang, kamu tenang dulu, ya,” kata Rumi, berusaha menenangkan pasiennya.

“ENGGAK!” Kristina berteriak histeris, mencakar lutut berbalut perban setelah melempar asal selimut yang menutup kakinya. “Tina nggak mau lumpuh, Pa! Tina nggak mau!”

Tangisnya pecah, kehisterisannya membabi buta sehingga Akbar kewalahan menenangkan sang putri. “Kalau kayak gini, mending Tina mati aja! Percuma Tina hidup kalau nggak bisa jalan!”

“Tina nggak boleh ngomong kayak gitu.”

Akbar menempelkan kedua telapak tangan di pipi Kristina, mencoba menyadarkan sang putri dengan mengguncangkan pipinya.

“Sayang, dengerin Papa! Dengerin Papa, Papa yakin kalau Tina bisa sembuh—Ti-na bi-sa sem-buh,” ucapnya, lalu menatap Rumi. “Benar, kan, Rum?”

“Tina, kamu tenang dulu, ya,” kata Rumi. “Yang papa kamu bilang benar. Kamu pasti bisa sembuh.” Rumi tersenyum pada Kristina. “Kamu bisa menjalani terapi untuk proses penyembuhannya. Saya yakin, kamu bisa melewati semua ini.”

KRISTINA [END]Where stories live. Discover now