CHAPTER 37

10 2 3
                                    

Kepergian Arya memang membuat Kristina sedih, tetapi dia tidak boleh berlarut-larut dalam kesedihan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kepergian Arya memang membuat Kristina sedih, tetapi dia tidak boleh berlarut-larut dalam kesedihan. Di era digital ini jarak tidak menjadi masalah dalam hubungan, setidaknya dia bisa melepas rindu melalui panggilan video meski harus menunggu Arya ada waktu luang.

Sejauh ini, Kristina mulai rutin menjalani terapi jalannya ditemani Yunita, dia mulai mananamkan pikiran positif akan kesembuhan. Hal itu jelas membawa dampak bagus pada kondisi fisiknya, dia mulai bisa melangkah sedikit demi sedikit meski pada akhirnya terjatuh juga.

Kristina mengatur napas ketika hendak lepas dari pegangan. Di hadapannya sudah ada Yunita yang memberi instruksi agar dia melangkah pelan-pelan. Tiba-tiba saja sosok Yunita berubah menjadi Arya sehingga menghadirkan senyum di sudut bibirnya.

“Ayo, Na! Sini!”

Senyum Kristina memudar begitu tersadar dari ilusinya. Sepertinya, matanya sedikit bermasalah saking kangennya dengan Arya. Apalagi selama dua minggu ini Arya tidak ada kabar sama sekali, terakhir Kristina diberi kabar kalau Arya kemungkinan akan jarang berkomunikasi dengannya karena sibuk kuliah.

“Yun, gue istirahat bentar, ya. Capek,” katanya. Yunita mengiakan, lalu dengan sigap dia membantu Kristina duduk di kursi putih. “Thank, ya,” kata Kristina.

Yunita mengangguk, lalu duduk di sebelah Kristina. “Oh iya, kemarin Luvita nawarin lo masuk ekskul jurnalistik. Lo mau ambil?” tanya Yunita setelah meneguk jus jeruknya.

“Kenapa dia nawarin gue?”

“Nggak tahu juga, sih. Eh, tapi kemarin dia ada bilang kalau lo sering update cerbung di aplikasi. Emang bener?” tanya Yunita, matanya melebar begitu diiakan. “Serius? Sejak kapan? Bukannya lo paling sebel kalau baca tulisan yang nggak ada gambarnya.”

“Itu kan dulu. Sekarang mah kagak.”

“Bagus, deh. Eh, tapi jangan lupa kasih novel gratis ke gue kalau udah terbit.” Yunita menyengir, sedangkan Kristina memutar bola matanya.

“Lo kenapa murung gitu?” tanya Yunita.

“Kak Arya. Udah dua minggu dia nggak ada kabar.”

“Mungkin lagi sibuk sama kuliahnya. Lagian, sebulan lagi juga Kak Arya balik ke Jakarta. Bukannya dia pernah bilang kalau setiap empat bulan sekali bakal pulang ke Jakarta.” Yunita mencoba mengingatkan.

“Iya, sih.”

“Ya udah, sabar aja dulu,” saran Yunita. “Sekarang lo harus fokus sama kesembuhan lo. Inget sama target lo, Na. Gimanapun caranya lo harus sembuh sebelum Kak Arya balik ke Jakarta.”

Yunita terus memberikan motivasi semangat kepada Kristina, temannya bisa punya semangat sembuh yang kuat karena Arya. Dulu, Yunita berpikir kalau Kristina hanya sebatas menyukai Arya seperti biasa. Nyatanya, ketika sudah bersama Arya, dia menjadikan Arya sebagai obat dari sakitnya.

***

Kristina tersenyum begitu Yunita melambaikan tangan tanda perpisahan. Gadis itu menyapu pandangan sekitar halte, ada beberapa murid Singgasana yang menunggu jemputan seperti Luvita, Melicia, Linda, dan Genta—yang kelihatannya sedang menunggu Safana.

“Na, sendirian aja lo?” Genta yang duduk di kursi putih bertanya. “Nungguin siapa?”

“Bokap.”

“Lo nggak nanya gue lagi nunggu siapa, Na?”

“Nggak perlu ditanya semua orang juga pasti tahu.”

Obrolan mereka berakhir setelah Genta berpamitan untuk menjemput Safana ke lab komputer. Tidak lama Melicia, Jessica dan Luvita juga berpamitan karena jemputannya sudah tiba.

Kristina kemudian melirik ke samping, hanya tersisa Linda yang sedang fokus memainkan gawai. Sepi. Meskipun Kristina sudah berpacaran dengan Arya, tetapi hubungannya dengan Linda masih belum membaik. Adik Arya itu seolah enggan berkomunikasi dengannya.

“Lin, lagi nungguin siapa?” Kristina berusaha mencairkan suasana, tetapi Linda hanya menoleh sekilas alih-alih merespons. “Sampai kapan, sih, lo bersikap kayak gini ke gue?”

“Gue salah apa sama lo?” Kristina bertanya lagi.

Kali ini, Linda menoleh, tatapannya tajam, seolah Kristina baru saja mengucap kalimat sensitif. Dia tersenyum sinis, lalu berkata, “Nggak salah lo nanya ke gue, Na? Masih betah pura-pura nggak ngerti apa-apa?”

“Maksudnya?”

“Ck. Oke gue kasih tahu sekarang.” Linda berdiri di hadapan Kristina. “Dari dulu, lo itu selalu dapatin apa yang lo mau. Cowok yang gue suka lo rebut, dan sekarang lo berhasil ngerebut perhatian abang gue. Masih nggak ngerti?”

Kening Kristina mengeryit. “Cowok? Siapa?”

“Reksa,” balas Linda. “Gue suka sama Reksa sejak lama. Yang pertama kali kenal Reksa itu gue, tapi lo malah pacaran sama dia.”

“Kenapa lo nggak ngomong dari awal kalau lo suka sama Reksa?”

“Kenapa gue nggak ngomong? Ck. Bukan gue yang nggak ngomong, tapi lo yang egois. Lo selalu pengin cerita lo didengerin sama gue dan Yunita, tapi sedikit pun lo nggak pernah kasih waktu buat kita cerita ke lo. Inget nggak lo?”

Kristina menelan salivanya. Tiba-tiba saja ingatannya berputar di masa lalu, di mana Linda mengatakan kalau dia menyukai seseorang, tetapi pada saat yang sama Kristina mengatakan bahwa Reksa menembaknya. Hal itu membuat Linda urung menyebut orang yang dia suka meski Yunita sudah bertanya.

“Yang namanya sahabat itu nggak perlu cerita, Na. Sahabat itu paham dengan sendirinya,” ujar Linda.

“Tapi sekarang, kan, lo udah dapetin cowok yang lo suka? Lo juga udah pacaran sama Reksa. Harusnya masalah kita udah kelar.”

Linda memutar bola mata. “Kalau sikap lo masih sama kayak dulu, gue yakin lama-lama Yunita juga nggak betah sahabatan sama lo.”

Linda pergi setelah mengucapkan kalimat itu, dia berhenti dengan jarak tujuh meter dari titik awal. Sementara itu, Kristina masih menatap Linda sembari mencerna obrolan barusan. Fokus Kristina beralih pada papan iklan di atas Linda yang hampir putus.

Dengan panik Kristina berteriak memanggil Linda meminta agar dia segera pergi dari sana, tetapi Linda sama sekali tidak mendengar suaranya. Mau tidak mau Kristina berusaha bangkit dari kursi roda sekuat tenaga.

“Linda! Awas!”

Secara ajaib Kristina berlari secepat kilat, lalu mendorong tubuh Linda sehingga keduanya tersungkur di aspal. Tidak lama papan iklan terlepas dari tiangnya dan jatuh, suaranya begitu keras sehingga beberapa orang menghampiri, termasuk Akbar yang baru saja datang menjemput Kristina.

“Lin, lo nggak apa-apa, kan?” tanya Kristina pada Linda yang masih syok.

“Enggak. Gue nggak apa-apa. Makasih udah nolongin gue.”

Kristina mengucapkan syukur lalu membantu Linda berdiri. Ekspresi Linda kembali kaget begitu menyadari bahwa Kristina sudah bisa berdiri dengan tegak tanpa berpegangan apa-apa.

“Na, kaki lo—” Linda menggantung kalimatnya.

Sama seperti Linda, Kristina juga terkejut ketika memperhatikan kedua kakinya. Tidak menyangka jika kini kakinya sudah bisa berfungsi dengan baik. “Gue bisa jalan lagi?” tanyanya pada diri sendiri, lalu menatap Akbar yang sudah berdiri di sampingnya. “Pa, kaki aku....”

BERSAMBUNG

KRISTINA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang